A. ASAL-USUL BANI BUWAIHI
Bani Buwaihi mulai dikenal dalam
sejarah adalah pada awal abad ke-4 Hijriah. Bani Buwaihi yang kemudian memegang
kekuasaan di dalam Daulah Abbasiyah pada mulanya berasal dari tiga orang
bersaudara, yaitu Ali, Al Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah
putra dari seorang yang bernama Buwaihi.
Buwaihi ini berasal dari keluarga
miskin yang tinggal di suatu negeri bernama Dailam. Ia adalah seorang rakyat
biasa yang kehidupan sehari-harinya sebagai pencari ikan. Ketiga orang anaknya
pada mulanya juga mengikuti kehidupan dan pekerjaan sehari-hari ayahnya.
Walaupun mereka berasal dari keluarga miskin, namun keluarga ini terkenal
dengan keberaniannya. Watak keberanian ini memang sudah keturunan dari kakek
mereka yang bergelar Abu Suja’, yang berarti bapak pemberani. Di dalam
diri ketiga putranya ini tentu telah mengalir darah pemberani itu. Hal ini
terbukti setelah ketiga bersaudara ini jadi tentara.
Itulah asal usul keluarga Buwaihi yang
pada mulanya berasal dari keluarga miskin di negeri Dailam kemudian menjadi
penguasa di dalam Daulah Abbasiyah selama hampir satu seperempat abad.[1]
B. MASA KEKUASAAN DINASTI BUWAIHI
Dinasti Buwaihi Berkuasa pada masa
Daulah Abbasiyah, berkuasa di Baghdad selama hampir satu seperempat abad, yaitu
dari tahun 334-447 H/ 945-1055 M. Meskipun dalam masa tersebut kekhalifahan
dipegang oleh keluarga Bani Abbas, tetapi khalifah hanya sebagai lambang saja.
Yang menguasai dan mengatur pemerintahan adalah keluarga Bani Buwaihi.[2]
1. Pembentukan Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi terbentuk semenjak
Ahmad Ibn Buwaihi memasuki kota Baghdad dan diserahi kekuasaan oleh Khalifah
Al-Mustakfiy sebagai pelindungnya dari bahaya orang Turki. Peristiwa ini
terjadi pada tanggal 12 Jumadil Awwâl 334 H. Kemudian lima hari setelah itu
oleh khalifah Al-Mustakfiy, Ahmad ibn Buwaihi dipercaya memegang jabatan atas
nama khalifah. Inilah titik awal terbentuknya Dinasti Buwaihi di dalam Daulah
Abbasiyah.
Sebelum Dinasti Buwaihi berkuasa di
dalam Daulah Abbasiyah, yang berkuasa adalah orang-orang keturunan Turki.
Penguasa yang terakhir dari orang-orang Turki adalah Mardawij, pada masa inilah
ketiga putra Buwaihi datang untuk bekerja di bawah pimpinan Mardawij. Oleh
Mardawij mereka diterima dengan baik, karena mereka memiliki kecakapan yang
tinggi dan ketiganya diangkat menjadi panglima untuk wilayah-wilayah yang luas,
dan kepada mereka diberi gelar sultan.
‘Ali ibn Buwaihi -putra Buwaihi yang tertua- diberi
kekuasaan untuk seluruh wilayah Persia, Al-Hasan –adik ‘Ali- diberi
kekuasan untuk wilayah Ray, Hamadzan dan Isfahân, sedangkan
Ahmad ibn Buwaihi yang paling muda diberikan kekuasaan untuk wilayah
Ahwaz dan Kirman.
Dengan diberikan wilayah kekuasaan yang
luas kepada Bani Buwaihi mulailah terbuka celah bagi mereka untuk mendapatkan
kemungkinan merebut kekuasaan nantinya. Selain menguasai wilayah, mereka juga
sekaligus menjadi panglima. Karena itu kekuasaan militer juga berada di tangan
mereka yang pada suatu ketika bisa dimanfaatkan. Ahmad Ibn Buwaihi yang
pada waktu itu ibu kota Baghdad berada dalam kekuasaannya selalu mencari
peluang yang baik untuk menduduki Baghdad yang menjadi tempat kedudukan
khalifah. Kota ini dikawal ketat oleh sejumlah pengawal yang dipimpin oleh
Tauzon, seorang diktator militer yang bergelar Amîr al-Umarâ’. Pada masa
khalifah al-Muttaqiy, Ahmad ibn Buwaihi pernah diminta oleh khalifah
datang ke Baghdad guna melindungi dirinya, karena pada waktu itu terjadi
keretakan hubungan antara khalifah dengan Tauzon. Pada tahun 332 H ia berangkat
menuju Baghdad, namun sebelum masuk kota itu ia dicegat oleh Tauzon, sehingga
ia gagal masuk ke sana.
Pada tahun 334 H Tauzon meninggal
dunia, sedangkan wakilnya yang bernama Ibn Syairazad sedang berada di luar kota
Baghdad. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Ahmad ibn Buwaihi untuk memasuki
Baghdad, kehadirannya diterima baik oleh Khalifah al-Mustakfiy yang ketika itu
menghadapi bahaya besar dari orang-orang Turki. Dalam kondisi ini yang terbaik
baginya adalah meminta perlindungan kepada Ahmad ibn Buwaihi yang
terkenal gagah dan berani dengan cara mengangkatnya sebagai penguasa atas nama
khalifah. Sehingga orang-orang Turki yang dianggap berbahaya tidak berpeluang
merebut kedudukan khalifah.
Sebagai penghargaan terhadap keluarga
Buwaihi, khalifah memberikan gelar kepada Ahmad Ibn Buwaihi dengan Mu’îz
al-Daulah, kepada Ali ibn Buwaihi dengan Imâd al-Daulah dan kepada Hasan
ibn Buwaihi dengan Rukn al-Daulah. Mulai saat itu resmilah keluarga Buwaihi
sebagai pemegang kekuasaan dalam Daulah Abbasiyah. Selanjutnya kekuasaan
dipegang secara turun temurun oleh keluarga ini hingga mereka dijatuhkan oleh
Bani Saljuk pada tahun 447 H/ 1055 M.
Selama kekuasaan Dinasti Buwaihi ini
tercatat penguasa yang memerintah sebanyak 11 orang yaitu:
1. Ahmad Ibn Buwaihi (Mu’îz
al-Daulah) tahun 334-356 H
2. Bakhtiar (’Îzz al-Daulah) tahun 356-367
H
3. Abu Suja’ ’Khusru (‘Adhd al-Daulah)
tahun 367-372 H
4. Abu Kalyajar al-Marzuban (’Sham-sham
al-Daulah) tahun 372-376 H
5. Abu al-Fawaris (’Syaraf al-Daulah)
tahun 376-379 H
6. Abu Nash Fairuz (’Baha’ al-Daulah)
tahun 379-403 H
7. Abu Suja’ (Sultan al-Daulah) tahun
403-411 H
8. Musyrif al-Daulah tahun 411-416 H
9. Abu Thahîr (’Jalal al-Daulah) tahun
416-435 H
10. Abu Kalyajar al-Marzuban (Imad al-Daulah) tahun 435-440 H
11. Abu Nashr (’Kushr al-Malik al-Rahîm ) tahun 440-447 H
2. Kondisi Dinasti Buwaihi
a. Politik
Pemerintahan
Pemerintahan Bani Buwaihi bukanlah
kekhalifahan yang berdiri sendiri seperti halnya Bani Abbasiyah atau Bani
Umayyah. Mereka berkuasa sebagai Amîr al-Umarâ’ di bawah
kekhalifahan Bani Abbasiyah. Tercatat selama Bani Buwaihi menjadi Amîr
al-Umarâ’ mereka berada di bawah pimpinan lima khalifah Abbasiyah
yaitu: al-Mustakfiy (944-946 ), al-Muti’ (946-974 ), Al-Tâ’i (974-991 ),
Al-Qadîr (991-1031 ) dan al-Qhâ’im (1031-1075 ). Meskipun mereka hanyalah Amîr
al-Umarâ’ Namun mereka memegang kekuasaan secara defacto pada dinasti
Abbasiyah. Bahkan pada masa Adhdu al-Daulah, ia mulai meninggalkan istilah amir
al-Umara’ dan menggantinya menjadi Malik (raja).
Selama Bani Buwaihi memasuki kota
Baghdad dan mendapat posisi penting di pemerintahan Abbasiyah, mereka menjadikan
posisi khalifah tak obahnya seperti boneka. Segala kebijakan berada di tangan Amîr.
Seperti disebutkan terdahulu bahwa
dinasti Buwaihi mulai berkuasa sejak Mu’îz al-Daulah diserahi memegang
kekuasaan atas nama khalifah oleh al-Mustakfiy pada tahun 334 H. Langkah
pertama yang beliau lakukan adalah berusaha menggantikan kekhalifahan Bani
Abbasiyah yang berpaham Sunniy menjadi paham Syi’ah. Namun hal ini tidak
berhasil dikarenakan mendapat reaksi besar dari masyarakat.
Usaha lain yang beliau lakukan untuk menguatkan
kekuasaan adalah dengan mengganti khalifah Bani Abbasiyah Al-Mustakfiy, dan
mengangkat khalifah Al-Mutî’. Dengan diangkatnya al-Mutî’ sebagai khalifah,
Muîz a-Daulah dapat berkuasa dengan leluasa menjalankan kekuasaannya. Karena ia
yang mengangkat khalifah, maka ia dapat memperlakukan khalifah sesuka hatinya.
Selama Mu’îz al-Daulah berkuasa,
dinasti Buwaihi belum memperoleh kemajuan yang berarti. Ia banyak disibukkan
menghadapi pemberontakan dari kaum Sunniy yang berbeda paham dengan Dinasti Buwaihi
yang berpaham Syi’ah.
Pengganti Mu’îz al-Daulah adalah
puteranya ‘Îzz al-Daulah. ‘Îzz al-Daulah berusaha menstabilkan kondisi politik
waktu itu, namun ia malah mendapatkan kendala yang lebih besar. Tidak hanya
menghadapi kaum Sunniy, melainkan ia harus menghadapi tantangan dari sepupunya
sendiri yaitu Abu Suja’ Khursu yang bergelar Adhdu al-Daulah yang
berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Perang saudara terjadi yang
mengakibatkan ‘Îzz al-Daulah terbunuh pada tahun 367 H.
Setelah ‘Îzz al-Daulah terbunuh, Adhdu
al-Daulah naik menggantikannya. Ia memegang kekuasaan dari tahun 367-372 H.
pada masa inilah banyak kemajuan yang tampak pada masa dinasti Buwaihi
memimpin.
Di antara keberhasilan yang beliau
capai di bidang politik pemerintahan –yang tidak pernah berhasil dilakukan
pemimpin Buwaihi yang lain- adalah:
1) Mengganti istilah penguasa Buwaihi dari
amir al-umara’ menjadi Malik. Hal ini berhasil beliau lakukan
setelah ia menjalin hubungan dekat dengan khalifah al-Thâ’i.
2) Mempersatukan seluruh penguasa Buwaihi
yang berada di wilayah-wilayah yang luas.
Satu hal yang mesti digaris bawahi,
bahwa stabilitas politik dinasti Buwaihi cukup terkendali hanya pada masa 3
anak Buwaihi dan Adhdu al-Daulah. Khusus setelah masa 3 anak Buwaihi, kondisi
politik banyak diwarnai pertikaian dan perebutan kekuasaan sesama keturunan
Buwaihi. Dan hal ini pulalah nantinya yang akan menyebabkan kehancuran Dinasti
Buwaihi. Ketika Penguasa Kuat seperti Mu’îz a-Daulah dan Adhdu al-Daulah
maka semua dapat dikendalikan, namun ketika penguasa lemah maka tampaklah
tanda-tanda kehancuran Buwaihi. Faktor lain yang menyebabkan rumitnya situasi
politik waktu itu adalah timbulnya pertentangan di tubuh militer antara bangsa
Dailam dan Turki, serta adanya serangan-serangan gencar dari Bizantium ke
Wilayah Islam. Hal ini menyebabkan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang
memerdekakan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad. Di antara dinasti itu
adalah: Iksidiah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan Lembah Furat,
Ghaznawiy di Ghazna dan dinasti Saljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari
dinasti Buwaihi. [3]
b. Ekonomi
Untuk menopang perekonomian masyarakat
pada masa dinasti Buwaihi dikembangkan berbagai usaha yang meliputi :
1) Perdagangan
2) Pertanian
Untuk menopang pertanian pada waktu itu
telah dibangun kanal-kanal dan saluran irigasi
3) Industri
Di antara bentuk industri yang
dikembangkan pada waktu itu, yang paling besar adalah industri permadani
Satu hal yang mesti dicatat pada masa
Adhdu al-Daulah berkuasa, kesejahteraan imam masjid diperhatikan, para
penulis dan tokoh agama serta ilmuan diberi honorarium yang cukup besar.
Untuk kesehatan masyarakat dibangun Rumah sakit besar di Baghdad dan di
Syiraj.
c. Iptek
Dan Kesenian
Sebagaimana Para khalifah Abbasiyah
pada periode awal, para penguasa Buwaihi mencurahkan perhatian yang besar dan
sungguh-sungguh terhadap ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Pada masa Bani
Buwaihi ini banyak bermunculan ilmuan besar, di antaranya Al-Farâbiy (w. 950
M), Ibn Sina (980-1037 M), Al-Farghâni, Abd al-Rahmân al-Shûfiy
(w.986 M), Ibn Miskawaih (w.1030 M), Abu al-A’la al-Ma’âriy (973-1057 M), serta
kelompok Ikhwân al-Shafa. Kemajuan di masa Bani
Buwaihi semakin tampak jelas dengan dibangunnya masjid-masjid, rumah sakit,
kanal-kanal dan bangunan umum lainnya, salah satunya adalah Dar al-Mamlakah
yang terdapat di kota Baghdad.
Kemajuan ilmu pengetahuan berkembang
sangat pesat pada masa ini terjadi karena banyak faktor, menurut analisa
penulis ada beberapa hal yang menyebabkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa
dinasti Buwaihi, di antaranya adalah:
1) Warisan tradisi dari Dinasti Abbasiyah
awal yang mendorong para pemikir abad berikutnya untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan, seperti banyaknya penterjemahan, penulisan karya ilmiah serta pen-tahqiq-an
kitab-kitab sebelumnya pada masa Harun al-Rasyîd dan al-Makmûn.
2) Perhatian khalifah dan amîr yang
begitu besar terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. Ini dapat kita lihat pada
masa Adhdu al-Daulah yang memberikan honorarium yang besar terhadap para Fuqahâ’,
Muhadditsîn, mutakallimîn dan ahli Nahu, pujangga, sastrawan,
dokter, ahli Hisab, arsitek dan lain-lain. Pada masa beliau, istana
digunakan sebagai tempat pertemuan ilmuan, sastrawan, cendikiawan dan ulama. Di
sini menjadi kesempatan untuk para penulis untuk menulis buku dalam berbagai
cabang ilmu. Di antara buku yang ditulis pada masa itu adalah: “Al-Idhah wa
al-Takmîlah fi al-Nahw” karangan Syekh Abu ‘Ali al-Farîsiy,
dan Taji fi Akhbâriy Baniy Buwaihi” yang ditulis oleh Ishâq
al-Shâbihy.
d. Pemikiran Filsafat
dan Pemahaman Keagamaan
Masalah keagamaan pada masa Bani
Buwaihi diwarnai oleh perseteruan antara paham Syi’ah yang di bawa oleh dinasti
Buwaihi dengan paham Sunniy yang dianut oleh masyarakat Abbasiyah secara umum.
Bahkan pada masa Mu’îz al-Daulah, beliau berusaha merubah paham kekhalifahan
dari Sunniy menjadi Syi’ah. Namun usaha itu gagal karena mendapat reaksi dari
masyarakat.
Tetapi pada masa Adhdu al-Daulah
toleransi/tasâmuh antara kedua paham dapat terwujud. Sehingga baik Bani
Abbas maupun Bani Buwaihi tidak ada yang memaksakan pahamnya masing-masing.
Keduanya berjalan secara serasi dan harmonis. Hanya saja Pada masa Bahâ’
al-Daulah sempat terjadi insiden berdarah antara kaum Sunniy dan Syi’ah
Sedangkan Pemikiran filsafat sangat
berkembang pada masa ini. Ini ditandai dengan kebanyakan tokoh yang muncul
waktu itu adalah para filosof seperti kelompok Ikhwân al-Shafâ, Ibn Sina,
Al-Farâbiy dan Ibn Miskawaih.
3. Kemunduran Dinasti Buwaihi
Setelah Adhd al-Daulah meninggal pada
tahu 372 H, ia digantikan oleh putranya yang bernama Abu Kalyajar al-Marzuban
yang bergelar Sham-sham al-Daulah. Pada waktu Sham-sham al-Daulah menggantikan
ayahnya hubungan baik dengan khalifah masih dapat dipertahankan. Namun tidak
lama kemudian suatu hal yang menggoncang kekuasaannya terjadi yaitu terjadi
sengketa dengan saudaranya sendiri bernama Abu al-Fawaris yang bergelar Syaraf
al-Daulah yang berambisi merebut kekuasaan dari tangannya. Meskipun ia berusaha
mengadakan perdamaian dengan saudaranya tersebut tetapi tidak berhasil. Pada
tahun 736 H Syaraf al-Daulah berhasil merebut kekuasaan dari tangan Sham-sham
al-Daulah, dan menahannya sampai meninggal dunia pada tahun 376 H. Setelah
memegang kekuasaan selama 3 tahun 11 bulan, sejak terjadinya sengketa antara
Sham-sham al-Daulah dengan Syaraf al-Daulah inilah Dinasti Buwaihi mulai
mengalami kemunduran.
Pada Masa kekuasaan Syaraf al-Daulah
keadaan politik mulai memburuk karena jalan kekerasan yang ditempuhnya mendapat
kebencian dari keluarga Bani Buwaihi sendiri. Namun kebetulan ia tidak lama
memegang kekuasaan, karena meninggal pada tahun 379 H, dalam usia 28 tahun
setelah berkuasa selama 2 tahun 8 bulan. Kemudian ia digantikan oleh saudaranya
Abu Nashr yang bergelar Bahâ’ al-Daulah setelah, mendapat persetujuan dari
khalifah Al-Thâ’i di Baghdad.
Berbeda dengan beberapa penguasa
sebelumnya Bahâ’ al-Daulah telah mulai memberikan kesempatan kepada orang-orang
Turki untuk jabatan penting. Bahkan ia sampai mengabaikan keluarganya sendiri
yang merupakan sendi kekuatan Bani Buwaihi. Tindakan lain yang dilakukannya
adalah dengan menangkap seorang penguasa wilayah (gubernur) Ali ibn Syaraf al-Daulah
karena dianggapnya akan menjadi saingan. Ali Adalah Putra saudaranya sendiri.
Karena terlalu khawatir, maka Ali dibunuhnya. Tindakan ini membawa dampak yang
negatif.
Kemudian sewaktu terjadi sengketa
antara orang-orang Turki dengan orang-orang Dailam, Bahâ’ al-Daulah segera
menghimpun orang-orang Turki dengan maksud supaya dapat melemahkan kekuatan
orang-orang Dailam. Tindakan ini menimbulkan pergolakan, salah seorang keluarga
Bani Buwaihi yang bergelar Fakhr al-Daulah yang waktu itu menjabat gubernur
wilayah Ray, Hamadzan dan Isfahan bertekad menguasai wilayah Iraq. Dan
ia berusaha mendapatkan peluang untuk menduduki Baghdad. Ketika ia berangkat
bersama tentaranya menuju Baghdad berita tentang keberangkatannya diketahui
oleh Bahâ’ al-Daulah, ia segera mengirim pasukan untuk mematahkannya,
pertempuran tidak dapat dielakkan pasukan Bahâ’ al-Daulah berhasil memukul
mundur Fakhr al-Daulah. Dengan demikian Bahâ’ al-Daulah masih dapat
mempertahankan kekuasaannya, namun kesatuan Bani buwaihi telah mulai terpecah.
Pada tahun 381 H terjadi keretakan
hubungan antara Baha’ al-Daulah dengan khalifah Al-Thâ’i. Pada tahun itu juga
khalifah ditangkap dan dipenjarakannya. Kemudian beliau mengangkat Al-Qodir
sebagai penggantinya, dan semua harta benda yang berharga dirampasnya. Dengan
diangkatnya Al-Qodir menjadi khalifah sesuai dengan persetujuan Bahâ’
al-Daulah, maka ia dapat bertindak sesuka hatinya. Semenjak itulah khalifah
hanyalah sebagai lambang kekuasaan saja dan semua wewenang dan kekuasaan
sepenuhnya berada di tangan Bahâ’ al-Daulah. Dominasi Bahâ’ al-Daulah semakin
tampak setelah ia menikahkan anaknya dengan khalifah Al-Qodir.
Masa Bahâ’ al-Daulah ini memang menjadi
masa suram Dinasti Buwaihi, Bahkan seorang penulis yang bernama Abu Mahâsin
mengatakan bahwa Bahâ al-Daulah adalah seorang penguasa yang zalim, yang hampir
tidak ada meninggalkan karya positif bagi negara dan rakyatnya. Selain hal di
atas ada beberapa peristiwa dan catatan penting bagi perjalanan kekuasaan Bahâ
al-Daulah yaitu:
a. Terjadinya insiden Baghdad antara kaum
Syi’ah dan kaum Sunni, yang dipicu oleh sikap fanatik Bani Buwaihi terhadap
ajaran Syi’ah. Insiden ini hampir merenggut nyawa seorang ulama terkenal yaitu
abu Hamîd al-Asfahâniy.
b. Penunjukan putra mahkota yang bermuara
kepada perebutan kekuasaan anak-anaknya pada periode berikutnya, bahkan sampai
akhir kekuasaan Bani Buwaihi.
Dari uraian ini dapat disimpulkan Bahwa
di antara faktor-faktor penyebab kemunduran Dinasti adalah:
a. Terjadinya perebutan kekuasaan sesama keluarga
Buwaihi
b. Rusaknya Hubungan Khalifah dengan
penguasa
c. Pemberian jabatan penting kepada orang
Turki (Saljuk) dan mulai mengabaikan orang-orang Dailam sendiri (khususnya di
bidang politik).
d. Terjadinya pertikaian antara Syi’ah dan
Sunniy
e. Ketidakmampuan penguasa mengendalikan
stabilitas politik.
C. KEHANCURAN DINASTI BUWAIHI
Peperangan antara Baha’, Syaraf dan
saudara ketiga mereka, Shamsham Al Dawlah, juga pertikaian antar
anggota-anggota kerajaan untuk menentukan penerus mereka serta fakta bahwa
Buwaihi berkecenderungan Syi’ah sehingga sangat di benci oleh orang-orang
Baghdad yang Sunni, menjadi sebab-sebab penting bagi keruntuhan dinasti
Buwaihi. Pada tahun 1055, Raja Saljuk yang bernama Thughril Beg memasuki Baghdad
dan megakhiri riwayat kekuasaan Buwaihi. Raja yang terakhir dari dinasti ini di
Irak yang bernama Al Malik Al RAhim (1048-1055), mengakhiri hidupnya dalam
kurungan.[4]
[1] Taufik Abd Allah dkk , Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam Khilafah, (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, [tth]), 69
[3]Misbah, Ma'ruf. dkk, Sejarah
Kebudayaan Islam Madrasah Aliyah Kelas III, (Semarang: CV. Wicaksana,2002),
61
[4] Philip K. Hitti, Dinasti-Dinasti
di Timur, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), 599
tolong bantu saya seperti ini terus dalam mendapatkan jawaban
BalasHapus