A.
Faktor Internal
penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah
Sebagaimana halnya keberadaan suatu
pemerintahan, biasanya dimulai dari sejarah pembentukan, kemudian dilanjutkan
dengan kemajuan-kemajuan yang sempat diukir dan diakhiri dengan kehancurannya.
Termasuk dinasti Abbasiyah ini, setelah kemajuan-kenajuan sudah banyak diraih
dalam banyak bidang, kemudian sampailah pada fase kemunduran dan kehancurannya.
Ada beberapa faktor penyebab
kemunduran dan kehancuran dinasti Abbasiyah ini. Biasanya sejarawan
mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab ini kedalam dua faktor, internal dan
eksternal.[1]
Secara umum, faktor internal ini
ada dua hal, yaitu politik dan ekonomi. Kedua faktor ini ditengarai sebagai
penyebab mundur dan jatuhnya Abbasiyah yang berkuasa selama 508 tahun.
1.
Persoalan
Politik
Pemerintah Dinasti Abbasiyah
terbilang cukup lama bertahan, yakni lima abad. Tetapi selama berlangsungnya pemerintahan
ini tidak berarti lancar terus menerus, hampir selama itu pula Daulah Bani
Abbasiyah tidak pernah sepi dari konflik politik, baik yang terjadi di pusat
kekuasaan maupun di wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaan di bawah
pemerintahan ini
Setelah Harun al-Rasyid (786-809)
meninggal dunia, daulah Bani Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran akibat
banyaknya gejolak politik yang muncul. Belum lama dari meninggalnya Harun
al-Rasyid, terjadinya perang saudara antar Al-Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin yang
merupakan saudara tiri Al-Ma’mun sudah ditunjuk oleh ayahnya, al-Rasyid,
sebagai khalifah yang akan menggatinya sedangkan Al-Ma’mun diberi kekuasaan di
Kurasan sebagai gubernur yang diberi kesempatan untuk mengganti saudaranya
sebagai khalifah pada kesempatan berikutnya.[2]
Al-Amin tidak setuju kalau jabatan
khalifah itu nantinya dipegang oleh al-Ma’mun. Ia terupaya menyingkirkan
al-Ma’mun agar kelak jabatan khalifah jattuh ke tangan anaknya sendiri. Perang
saudara akhirnya pecah. Dalam perang saudara tersebut kekuatan al-Amin didukung
oleh pasukan tentara dari Baghdad, sedangkan al-Ma’mun mendapat dukungan dari
pasukan tentara dari Khurasan.[3]
Akhirnya al-Amin dapat dikalahkan dan dengan sendirinya al-Ma’mun kemudian
menjadi khalifah menggantikan Harun Al-Rasyid.
Pada zaman pemerintahan dipegang
oleh al-Ma’mun, ia banyak merekrut orang-orang Persia untuk menduduki jabatan
di pemerintahan. Orang-orang Persia diberikan posisi strategis. Tahir Ibn
al-Husain misalnya, orang Khurasan yang berjasa kepada al-Ma’mun dalam
mengalahkan al-Amin, menjadi gubernur Khurasan dan juga sebagai panglima Daulah
Abbasiyah secara keseluruhan. Karena posisinya yang itu kemudian ia berani
memproklamirkan Khurasan sebagai posisi tersendiri dan membangun kekuasaan
kegubernuran berdasarkan garis keturunanannya sendiri. Pada Khalifah al-Ma’mun
dominasi orang-orang Persia lebih kuat dibanding dengan orang-orang arab.[4]
Ada dua sebab dinasti Abbasiyah
memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit
untuk orang-orang Arab melupakan Bani Umayyah.pada masa itu mereka merupakan
warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya ‘ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifah Abbasiyah tidak
ditegakkan di atas ‘ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang
Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan
pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa daerah
yang mengalir di tubuh mereka adalah (ras) istimewa dan mereka menganggap
rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.[5]
2.
Persoalan
Ekonomi
Seperti yang sudah dijelaskan
sebelumnya bahwa sebagai akibat dari pertikaian di tingkat pusat kekuasaan Abbasiyah
menjadikan melemahnya kontrol pemerintahan ke daerah-daerah. Padahal wilayah
Abbasiyah yang mewarisi dinasti Umayah itu sangat luas. Luasnya wilayah
kekuasaan itu menjadikan komunikasi ke provinsi-provinsi menjadi lambat.
Meskipun wilayah keuasaan tersebut cukup luas tetapi kalau ada kepercayaan
tinggi kepada pemerintah pusat mungkin bisa mengurangi masalah, tetapi
sayangnya kepercayaan seperti itu pada abad kesepuluh sudah banyak berkurang
sehingga khalifah mengalami kesulitan dalam menemukan orang yang ditunjuk
sebagai gubernur-gubernur provinsi yang bisa dipercaya untuk mengirim uang ke
Baghdad yang diperoleh dari surplus pajak.karena itu pertikaian politik ini
berimbas kepada masalah finansial sangat jelas dampaknya.
Sebenarnya pengiriman dana ke pusat
pemerintahan Abbasiyah hingga tahun 919 M masih dalam jumlah yang besar, tetapi
setelah itu, jumlah uang pajak yang dikirim selalu mengalami penurunan. Pada
waktu itu biasanya pengumpulan uang pajak melalui sistem borongan oleh
pemborong pajak dan kadang-kadang juga dilakukan oleh tentara bayaran karena
dianggap lebih efisien.dan ketika kekuatan militer merosot khalifah tidak
sanggup memaksakan pengiriman pajak ke Baghdad sehingga pemasukan pajak juga
merosot. Akibatnya perekonomian pemerintahan mengalami krisis sampai tingkat
yang sangat memprihatinkan. Pemerintahan waktu itu bahkan tidak mampu membayar
tentara dengan uang akhirnya diganti dengan memberinya tanah.[6]
Ibn Khaldun menggambarkan bahwa
pemasukan tahun dari barbagai provinsi pada masa al-Ma’mun adalah dari daerah
sawad (dahulu daerah Bibilonia) sebesar 27.800.000 dirham, dari Khurasan
sebesar 28.000.000 dirham, dari Mesir sebesar 23.040.000 dirham, dari Syiria-Pelestina
sebesar 14.724.000 dirham dan dari keseluruhan provinsi berjumlah 331.929.008
dirham tidak termasuk income berupa barang.
Sementara itu dumber lain dari
Qudamah menunjukkan bahwa income baik berupa uang maupun barang yang berasal
dari Sawad memcapai 130.200.000 dirham, dari Khurasan 37.000.000 dar Mesir
termasuk Iskaniariyah 37.500.000, dari Syiria-Palestina 388.291.350 dirham
termasuk income berupa barang. Sedangkan menurut Ibn Khurdadhbih income dari
Sawad baik berupa uang maupun barang mencapai senilai 78.319.350, dar Khurasan
dan sekitarnya 44.846.000 dirham, dari Sriria-Palestina sebesar 29.850.000 dan
dari jumlah keseluruhan mencapai 299.265.340 dirham.[7]
Pada saat itu pasukan infantri
mendapat gaji 240 dirham per tahun, sedangkan tentara kevelari mendapat dua
kali lipat dar jumlah yand diterima infantri. Jumlah tentara pada masa itu
mencapai 120.000 orang. Income yang masuk ke negara pada abad-abad berikutnya
selalu mengalami penurunan sampai pada titik terendah sehingga sampai yabg
sudah disebutkandi atas pemerintahan tidak mampu membayar tentara dengan uang
tetapi diganti dengan membayar tanah.
Penurunan pendapatan pemerintahan
Bani Abbasiyah selain dari faktor pajak, juga disebabkan oleh rusaknya wilayah
yang dulunya sangat subur, yaitu Sawad. Sedangkan Sawad merupakan salah satu
wilayah pertanian yang jadi salah satu andalan pemerintahan. Ketidak suburan
wilayah Sawad ini8 disebabkan oleh adanya banjir yang terjadi secara periodik
di wilayah itu dan dangkalnya sungai Diya’ah. Akibatnya daangkalnya dari sungai
tersebut menjadikan irigasi berjalan tidak lancar maka terjadilah perubahan struktur
tanah yang menyebabkan tidak subur. Ketidak suburan ini berakibat luar biasa
akan merosotnya pemasukan pemerintahan dari sektor pertanian ini, dan membawa
dampak akan kelangsungan pemerintahan Abbasiyah.[8]
B.
Faktor eksternal
penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah
Apa yang
disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula
faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya
hancur. Pertama, perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau
periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke
wilayah kekuasaan Islam.[9]
1.
Perang Salib
Diantara faktor yang menyebabkan
kemunduran dinasti Abbasiyah adalah karena faktor perang salib. Peperangan
salib ini terjadi selama 2 abad. Yaitu mulai tahun 1095 M sampai tahun 1291 M.
Peperangan ini terjadi katika daulah Abbasiyah ada di bawah kekuasaan Bani
Saljuk. Perang merupakan reaksi orang-orang kristen Eropa terhadap orang-orang
Islam yang telah melakukan penaklukan-penaklukan sejak tahun 632 M tidak saja
di syiria dan Asia kecil tetapi juga di Spanyol dan Sisili.
Di
samping itu umat islam dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan umat Kristen
seperti mempersulit peziarah Eropa yang akan melakukan ibadah di Jarussalem.
Demikian pula sekembalinya dari ziarah mereka sering mendapat perlakuan yang
jelek dari orang-orang Saljuk yang fanatik. Akhirnya Kaisar Alexius I dan Paus
Urbanus II menjalin kerjasama untuk membangkitkan semangat orang-orang Kristen
Eropa untuk melawan orang-orang Islam, yang kemudian dikenal dengan perang
salib. Dikatakan orang salib karena orang-orang kristen memakai lambang salib
dalam peperangan itu.
Karena
kerjasama antar Paus dan Kaisar Alexius itulah kemudian, Paus Urbanus II pidato
dihadapan orang-orang Kristen. Pidato paus ini terkenal dalam sejarah karena
cukup memukau massa Kristen. Pidato itu dilakukan paus pada tanggal 26 November
1095 M. Ajakan paus lewat pidatonya itu menggema ke seluruh Eropa. Menjelang
musim semi tahun 1097 seratus lima puluh ribu orang memenuhi ajakan Paus Urban
II dan mereka berkumpul di Konstantinopel. Prang salib akhirnya benar-benar
terjadi antar orang-orang Islam dan orang-orang Kristen.
Antara
ahli sejarah berbeda pendapat satu dengan lainnya dalam kaitan periodesasi atau
pembabakan perang salib yang berlangsung cukup lama itu, sekitar dua abad, masa
yang sangat panjang untuk peperangan. Ada yang membagi sembilan, ada yang tujuh
dan ada yang tiga periode. Pembagian itu tentu didasarkan umumnya dari
masing-masing karakteristik peperangan itu.
Pada tulisan ini, periodesasi perang salib dibagi menjadi tiga, pertama,
periode penaklukan, periode ini ditandai dengan suksesnya pasukan Kristen
merebut kota-kota di sekitar pantai timur laut tengah seperti Antioch, Tripoli,
Acre, Jerussalem dan sebagainya. Keberhasilan itu mereka susul dengan
mendirikan Kerajaan latin di timur. Kedua, periode reaksi umat Islam
atas penaklukan-penaklukan orang Kristen, pelopornya Imad al-Din Zangki. Di
mana Islam berhasil membebaskan kembali kota-kota yang direbut oleh pasukan
Kristen. Kemenangan demi kemenangan tersebut tercapai ketika pasukan Islam
dipimpin oleh Salah al-Din al-Ayyubi, pahlawan Islam yang namanya melegenda
sampai sekarang. Peristiwa yang penting pada kepemimpinannya adalah direbutnya
kembali Jarussalem dari tangan pasukan Kristen, ketiga, periode perang
sipil dan perang kecil-kecilan yang berakhir pada tahun 1291. Pasukan Kristen
kehilangan derah terakhir Syiria yang menjadi daerah pertahanannya. Dengan
jatuhnya daerah tarakhir menandai berakhirnya perang salib. Ketika orang-orang
kristen mampu menguasai yarusslaem mereka bahkan sempat mendirikan kerajaan
Latin yang berkuasa selam sekitar 80 tahun, tetapi dalam periode berikutnya
kota tersebut dapat dikuasai kembali oleh umat islam.
Meskipun akhir dari peperangan ini
dimenangkan oleh umat Islam tetapi umat Islam mengalami kerugian yang banyak,
karena peperangan ini terjadi di wilayah umat Islam dan tentu dana yang
dikeluakan untuk peperangan yang panjang ini cukup menguras finansial
pemerintah Abbasiyah.[10]
2.
Serangan Pasukan
Mongol
Di samping umat Islam harus bersusah
payah menghadapi tentara salib yang dimulai akhir abad ke 11, dipertengahan
abad ke 13 umat islam harus menghadapi pasukan Hulagu Khan yang ganas dari
bangsa Mongol. Sebenarnya sebelum pasukan Mongol menyerang dinasti Abbasiyah,
secara internal orang-orang dinasti Abbas sendiri sudah terbebani oleh masalah
mereka sendiri, terutama persaingan antara etnis Persia dan etnis Turki.
Ketika kondisi di atas relatif
berakhir sebenarnya kedudukan khalifah Abbasiyah sudah kuat kembali, akan
tetapi kekeuasaan khalifah saat hanya tinggal di sekitar wilayah Baghdad saja.
Sehingga secara politik dinasti Abbasiyah tetap saja memprihatinkan. Dalam
kondisi seperti itulah kemudian datang serangan dari bangsa mongol pada tahun
1258 M, yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Pada saat itu pasukan Mongol
merupakan pasukan yang tangguh .ekspansinya sudah banyak ke wilayah yang ada di
sekitar bangsanya, bahkan sudah menguasai sebagian yang dikuasai umat Islam.
Mereka memiliki perlengkapan perang, juga memiliki disiplin yang tinggi.
Orang-orang Mongol kemudian menyerang Baghdad pada saat Baghdad dalam kondisi
yang sudah lemah. Pasukan Hulagu Khan menghancurkan Baghdad rata dengan tanah
dan membunuh orang-orangnya.
Khalifah terakhir bani Abbasiyah, al-Mu’tasim
berusaha untuk mengulur waktu penyerahan tetapi hal itu sia-sia saja. Akhirnya
Hulagu kehilangan kesabarannya dan penyerangan ke bani Abbasiyah. Pasukan
mongol menyeberangi sungai Trigis. Mereka menghancurkan tanggul-tanggul air
sehingga airnya membanjiri rumah-rumah penduduk. Penduduk berusaha lari namun
sebagian mereka ditangkap oleh tentara dan dibenamkan ke dalam air.
Pada saat itu, al-Mu’tasim menyuruh
seorang untuk menawarkan penyerahan. Tetapi Hulagu Khan minta agar al-Mu’tasim
datang sendiri dan keluarganya beserta orang-orang lainnya. Ketika permintaan
itu dipenuhi untuk datang ke Hulagu bersama keluarga dan orang-orang Abbasiyah
lainnya, tetapi justru yang terjadi adalah pasukan Hulagu melakukan penyerangan
terhadap al-Mu’tasim beserta para pengikutnya. Bangunan-bangunan dinasti
Abbasiyah dengan berbagai macam khazanah lainnya termasuk Bait al-Hikmah
dihancurkan oleh Hulagu Khan bersama tentaranya. Diperkirakan sekitar 800.000
orang baik pria, wanita maupun anak-anak menjadi sasaran pembantaian pasukan
Mongol ini. Dalam pembantaian ini al-Mu’tasim sendiri beserta keluarganya
dibunuh dengan kejam. Dengan terbunuhnya al-Mu’tasim yang merupakan khalifah
terakhir bani Abbasiyah maka berakhir pulalah pemerintahan bani Abbasiyah ini.[11]
Poin-poin
kemunduran dinasti Abbasiyah di atas setidaknya mempunyai kesamaan namun yang
perlu dipahami bahwa kemunduran Islam dalam suatu dinasti lebih banyak
didahului oleh faktor internal seperti yang diperingatkan Nabi bahwa umat Islam
tidak dapat dikalahkan oelh musuh kecuali kalau sesama mereka berselisih lalu
mengundang musuh luar ke dalam rumah tangga mereka untuk mengahancurkan saudara
seagamanya yang berlainan aliran.
[1] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban Islam (Yogyakarta: SUKSES
Offset, 2011), hlm. 142
[2] Ira M. Lapidus, A History of IslamicScienties (Cambridge:
Cambridge University Press, 1988), hlm.126
[3] ibid
[4] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm. 143-144
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), hlm. 80-81
[6] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm.146-147
[7]Philip K, Hitti, History of The Arabs, terjemahan R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 321
[8] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm.148
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam......hlm. 85
[10]Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm.149-150
[11] Ibid., hlm.151-153
Tidak ada komentar:
Posting Komentar