Jumat, 09 Oktober 2015

KEMUNDURAN DAN KEHANCURAN DINASTI ABBASIYAH



A.      Faktor Internal penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah
Sebagaimana halnya keberadaan suatu pemerintahan, biasanya dimulai dari sejarah pembentukan, kemudian dilanjutkan dengan kemajuan-kemajuan yang sempat diukir dan diakhiri dengan kehancurannya. Termasuk dinasti Abbasiyah ini, setelah kemajuan-kenajuan sudah banyak diraih dalam banyak bidang, kemudian sampailah pada fase kemunduran dan kehancurannya.
Ada beberapa faktor penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Abbasiyah ini. Biasanya sejarawan mengklasifikasikan faktor-faktor penyebab ini kedalam dua faktor, internal dan eksternal.[1]
Secara umum, faktor internal ini ada dua hal, yaitu politik dan ekonomi. Kedua faktor ini ditengarai sebagai penyebab mundur dan jatuhnya Abbasiyah yang berkuasa selama 508 tahun.


1.    Persoalan Politik
                        Pemerintah Dinasti Abbasiyah terbilang cukup lama bertahan, yakni lima abad. Tetapi selama berlangsungnya pemerintahan ini tidak berarti lancar terus menerus, hampir selama itu pula Daulah Bani Abbasiyah tidak pernah sepi dari konflik politik, baik yang terjadi di pusat kekuasaan maupun di wilayah-wilayah yang menjadi kekuasaan di bawah pemerintahan ini
                        Setelah Harun al-Rasyid (786-809) meninggal dunia, daulah Bani Abbasiyah lambat laun mengalami kemunduran akibat banyaknya gejolak politik yang muncul. Belum lama dari meninggalnya Harun al-Rasyid, terjadinya perang saudara antar Al-Amin dan Al-Ma’mun. Al-Amin yang merupakan saudara tiri Al-Ma’mun sudah ditunjuk oleh ayahnya, al-Rasyid, sebagai khalifah yang akan menggatinya sedangkan Al-Ma’mun diberi kekuasaan di Kurasan sebagai gubernur yang diberi kesempatan untuk mengganti saudaranya sebagai khalifah pada kesempatan berikutnya.[2]
                        Al-Amin tidak setuju kalau jabatan khalifah itu nantinya dipegang oleh al-Ma’mun. Ia terupaya menyingkirkan al-Ma’mun agar kelak jabatan khalifah jattuh ke tangan anaknya sendiri. Perang saudara akhirnya pecah. Dalam perang saudara tersebut kekuatan al-Amin didukung oleh pasukan tentara dari Baghdad, sedangkan al-Ma’mun mendapat dukungan dari pasukan tentara dari Khurasan.[3] Akhirnya al-Amin dapat dikalahkan dan dengan sendirinya al-Ma’mun kemudian menjadi khalifah menggantikan Harun Al-Rasyid.
                        Pada zaman pemerintahan dipegang oleh al-Ma’mun, ia banyak merekrut orang-orang Persia untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Orang-orang Persia diberikan posisi strategis. Tahir Ibn al-Husain misalnya, orang Khurasan yang berjasa kepada al-Ma’mun dalam mengalahkan al-Amin, menjadi gubernur Khurasan dan juga sebagai panglima Daulah Abbasiyah secara keseluruhan. Karena posisinya yang itu kemudian ia berani memproklamirkan Khurasan sebagai posisi tersendiri dan membangun kekuasaan kegubernuran berdasarkan garis keturunanannya sendiri. Pada Khalifah al-Ma’mun dominasi orang-orang Persia lebih kuat dibanding dengan orang-orang arab.[4]
Ada dua sebab dinasti Abbasiyah memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit untuk orang-orang Arab melupakan Bani Umayyah.pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyyah kesukuan. Dengan demikian, khalifah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ‘ashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu, bangsa Arab beranggapan bahwa daerah yang mengalir di tubuh mereka adalah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.[5]

2.    Persoalan Ekonomi
                        Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagai akibat dari pertikaian di tingkat pusat kekuasaan Abbasiyah menjadikan melemahnya kontrol pemerintahan ke daerah-daerah. Padahal wilayah Abbasiyah yang mewarisi dinasti Umayah itu sangat luas. Luasnya wilayah kekuasaan itu menjadikan komunikasi ke provinsi-provinsi menjadi lambat. Meskipun wilayah keuasaan tersebut cukup luas tetapi kalau ada kepercayaan tinggi kepada pemerintah pusat mungkin bisa mengurangi masalah, tetapi sayangnya kepercayaan seperti itu pada abad kesepuluh sudah banyak berkurang sehingga khalifah mengalami kesulitan dalam menemukan orang yang ditunjuk sebagai gubernur-gubernur provinsi yang bisa dipercaya untuk mengirim uang ke Baghdad yang diperoleh dari surplus pajak.karena itu pertikaian politik ini berimbas kepada masalah finansial sangat jelas dampaknya.
                        Sebenarnya pengiriman dana ke pusat pemerintahan Abbasiyah hingga tahun 919 M masih dalam jumlah yang besar, tetapi setelah itu, jumlah uang pajak yang dikirim selalu mengalami penurunan. Pada waktu itu biasanya pengumpulan uang pajak melalui sistem borongan oleh pemborong pajak dan kadang-kadang juga dilakukan oleh tentara bayaran karena dianggap lebih efisien.dan ketika kekuatan militer merosot khalifah tidak sanggup memaksakan pengiriman pajak ke Baghdad sehingga pemasukan pajak juga merosot. Akibatnya perekonomian pemerintahan mengalami krisis sampai tingkat yang sangat memprihatinkan. Pemerintahan waktu itu bahkan tidak mampu membayar tentara dengan uang akhirnya diganti dengan memberinya tanah.[6]
                        Ibn Khaldun menggambarkan bahwa pemasukan tahun dari barbagai provinsi pada masa al-Ma’mun adalah dari daerah sawad (dahulu daerah Bibilonia) sebesar 27.800.000 dirham, dari Khurasan sebesar 28.000.000 dirham, dari Mesir sebesar 23.040.000 dirham, dari Syiria-Pelestina sebesar 14.724.000 dirham dan dari keseluruhan provinsi berjumlah 331.929.008 dirham tidak termasuk income berupa barang.
                        Sementara itu dumber lain dari Qudamah menunjukkan bahwa income baik berupa uang maupun barang yang berasal dari Sawad memcapai 130.200.000 dirham, dari Khurasan 37.000.000 dar Mesir termasuk Iskaniariyah 37.500.000, dari Syiria-Palestina 388.291.350 dirham termasuk income berupa barang. Sedangkan menurut Ibn Khurdadhbih income dari Sawad baik berupa uang maupun barang mencapai senilai 78.319.350, dar Khurasan dan sekitarnya 44.846.000 dirham, dari Sriria-Palestina sebesar 29.850.000 dan dari jumlah keseluruhan mencapai 299.265.340 dirham.[7]
                        Pada saat itu pasukan infantri mendapat gaji 240 dirham per tahun, sedangkan tentara kevelari mendapat dua kali lipat dar jumlah yand diterima infantri. Jumlah tentara pada masa itu mencapai 120.000 orang. Income yang masuk ke negara pada abad-abad berikutnya selalu mengalami penurunan sampai pada titik terendah sehingga sampai yabg sudah disebutkandi atas pemerintahan tidak mampu membayar tentara dengan uang tetapi diganti dengan membayar tanah.
                        Penurunan pendapatan pemerintahan Bani Abbasiyah selain dari faktor pajak, juga disebabkan oleh rusaknya wilayah yang dulunya sangat subur, yaitu Sawad. Sedangkan Sawad merupakan salah satu wilayah pertanian yang jadi salah satu andalan pemerintahan. Ketidak suburan wilayah Sawad ini8 disebabkan oleh adanya banjir yang terjadi secara periodik di wilayah itu dan dangkalnya sungai Diya’ah. Akibatnya daangkalnya dari sungai tersebut menjadikan irigasi berjalan tidak lancar maka terjadilah perubahan struktur tanah yang menyebabkan tidak subur. Ketidak suburan ini berakibat luar biasa akan merosotnya pemasukan pemerintahan dari sektor pertanian ini, dan membawa dampak akan kelangsungan pemerintahan Abbasiyah.[8]

B.       Faktor eksternal penyebab kemunduran dan kehancuran dinasti Bani Abbasiyah
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Di samping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khalifah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam.[9]
1.    Perang Salib
                        Diantara faktor yang menyebabkan kemunduran dinasti Abbasiyah adalah karena faktor perang salib. Peperangan salib ini terjadi selama 2 abad. Yaitu mulai tahun 1095 M sampai tahun 1291 M. Peperangan ini terjadi katika daulah Abbasiyah ada di bawah kekuasaan Bani Saljuk. Perang merupakan reaksi orang-orang kristen Eropa terhadap orang-orang Islam yang telah melakukan penaklukan-penaklukan sejak tahun 632 M tidak saja di syiria dan Asia kecil tetapi juga di Spanyol dan Sisili.
                        Di samping itu umat islam dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan umat Kristen seperti mempersulit peziarah Eropa yang akan melakukan ibadah di Jarussalem. Demikian pula sekembalinya dari ziarah mereka sering mendapat perlakuan yang jelek dari orang-orang Saljuk yang fanatik. Akhirnya Kaisar Alexius I dan Paus Urbanus II menjalin kerjasama untuk membangkitkan semangat orang-orang Kristen Eropa untuk melawan orang-orang Islam, yang kemudian dikenal dengan perang salib. Dikatakan orang salib karena orang-orang kristen memakai lambang salib dalam peperangan itu.
                        Karena kerjasama antar Paus dan Kaisar Alexius itulah kemudian, Paus Urbanus II pidato dihadapan orang-orang Kristen. Pidato paus ini terkenal dalam sejarah karena cukup memukau massa Kristen. Pidato itu dilakukan paus pada tanggal 26 November 1095 M. Ajakan paus lewat pidatonya itu menggema ke seluruh Eropa. Menjelang musim semi tahun 1097 seratus lima puluh ribu orang memenuhi ajakan Paus Urban II dan mereka berkumpul di Konstantinopel. Prang salib akhirnya benar-benar terjadi antar orang-orang Islam dan orang-orang Kristen.
            Antara ahli sejarah berbeda pendapat satu dengan lainnya dalam kaitan periodesasi atau pembabakan perang salib yang berlangsung cukup lama itu, sekitar dua abad, masa yang sangat panjang untuk peperangan. Ada yang membagi sembilan, ada yang tujuh dan ada yang tiga periode. Pembagian itu tentu didasarkan umumnya dari masing-masing karakteristik peperangan itu.
                        Pada tulisan ini, periodesasi  perang salib dibagi menjadi tiga, pertama, periode penaklukan, periode ini ditandai dengan suksesnya pasukan Kristen merebut kota-kota di sekitar pantai timur laut tengah seperti Antioch, Tripoli, Acre, Jerussalem dan sebagainya. Keberhasilan itu mereka susul dengan mendirikan Kerajaan latin di timur. Kedua, periode reaksi umat Islam atas penaklukan-penaklukan orang Kristen, pelopornya Imad al-Din Zangki. Di mana Islam berhasil membebaskan kembali kota-kota yang direbut oleh pasukan Kristen. Kemenangan demi kemenangan tersebut tercapai ketika pasukan Islam dipimpin oleh Salah al-Din al-Ayyubi, pahlawan Islam yang namanya melegenda sampai sekarang. Peristiwa yang penting pada kepemimpinannya adalah direbutnya kembali Jarussalem dari tangan pasukan Kristen, ketiga, periode perang sipil dan perang kecil-kecilan yang berakhir pada tahun 1291. Pasukan Kristen kehilangan derah terakhir Syiria yang menjadi daerah pertahanannya. Dengan jatuhnya daerah tarakhir menandai berakhirnya perang salib. Ketika orang-orang kristen mampu menguasai yarusslaem mereka bahkan sempat mendirikan kerajaan Latin yang berkuasa selam sekitar 80 tahun, tetapi dalam periode berikutnya kota tersebut dapat dikuasai kembali oleh umat islam.
                        Meskipun akhir dari peperangan ini dimenangkan oleh umat Islam tetapi umat Islam mengalami kerugian yang banyak, karena peperangan ini terjadi di wilayah umat Islam dan tentu dana yang dikeluakan untuk peperangan yang panjang ini cukup menguras finansial pemerintah Abbasiyah.[10]


2.    Serangan Pasukan Mongol
                        Di samping umat Islam harus bersusah payah menghadapi tentara salib yang dimulai akhir abad ke 11, dipertengahan abad ke 13 umat islam harus menghadapi pasukan Hulagu Khan yang ganas dari bangsa Mongol. Sebenarnya sebelum pasukan Mongol menyerang dinasti Abbasiyah, secara internal orang-orang dinasti Abbas sendiri sudah terbebani oleh masalah mereka sendiri, terutama persaingan antara etnis Persia dan etnis Turki.
                        Ketika kondisi di atas relatif berakhir sebenarnya kedudukan khalifah Abbasiyah sudah kuat kembali, akan tetapi kekeuasaan khalifah saat hanya tinggal di sekitar wilayah Baghdad saja. Sehingga secara politik dinasti Abbasiyah tetap saja memprihatinkan. Dalam kondisi seperti itulah kemudian datang serangan dari bangsa mongol pada tahun 1258 M, yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
                        Pada saat itu pasukan Mongol merupakan pasukan yang tangguh .ekspansinya sudah banyak ke wilayah yang ada di sekitar bangsanya, bahkan sudah menguasai sebagian yang dikuasai umat Islam. Mereka memiliki perlengkapan perang, juga memiliki disiplin yang tinggi. Orang-orang Mongol kemudian menyerang Baghdad pada saat Baghdad dalam kondisi yang sudah lemah. Pasukan Hulagu Khan menghancurkan Baghdad rata dengan tanah dan membunuh orang-orangnya.
                        Khalifah terakhir bani Abbasiyah, al-Mu’tasim berusaha untuk mengulur waktu penyerahan tetapi hal itu sia-sia saja. Akhirnya Hulagu kehilangan kesabarannya dan penyerangan ke bani Abbasiyah. Pasukan mongol menyeberangi sungai Trigis. Mereka menghancurkan tanggul-tanggul air sehingga airnya membanjiri rumah-rumah penduduk. Penduduk berusaha lari namun sebagian mereka ditangkap oleh tentara dan dibenamkan ke dalam air.
                        Pada saat itu, al-Mu’tasim menyuruh seorang untuk menawarkan penyerahan. Tetapi Hulagu Khan minta agar al-Mu’tasim datang sendiri dan keluarganya beserta orang-orang lainnya. Ketika permintaan itu dipenuhi untuk datang ke Hulagu bersama keluarga dan orang-orang Abbasiyah lainnya, tetapi justru yang terjadi adalah pasukan Hulagu melakukan penyerangan terhadap al-Mu’tasim beserta para pengikutnya. Bangunan-bangunan dinasti Abbasiyah dengan berbagai macam khazanah lainnya termasuk Bait al-Hikmah dihancurkan oleh Hulagu Khan bersama tentaranya. Diperkirakan sekitar 800.000 orang baik pria, wanita maupun anak-anak menjadi sasaran pembantaian pasukan Mongol ini. Dalam pembantaian ini al-Mu’tasim sendiri beserta keluarganya dibunuh dengan kejam. Dengan terbunuhnya al-Mu’tasim yang merupakan khalifah terakhir bani Abbasiyah maka berakhir pulalah pemerintahan bani Abbasiyah ini.[11]
                        Poin-poin kemunduran dinasti Abbasiyah di atas setidaknya mempunyai kesamaan namun yang perlu dipahami bahwa kemunduran Islam dalam suatu dinasti lebih banyak didahului oleh faktor internal seperti yang diperingatkan Nabi bahwa umat Islam tidak dapat dikalahkan oelh musuh kecuali kalau sesama mereka berselisih lalu mengundang musuh luar ke dalam rumah tangga mereka untuk mengahancurkan saudara seagamanya yang berlainan aliran.


[1] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban Islam (Yogyakarta: SUKSES Offset, 2011), hlm. 142
[2] Ira M. Lapidus, A History of IslamicScienties (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), hlm.126
[3] ibid
[4] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm. 143-144
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 80-81
[6] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm.146-147
[7]Philip K, Hitti, History of The Arabs, terjemahan R.Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2002), hlm. 321
[8] Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm.148
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam......hlm. 85
[10]Imam Fuadi, Sejarah Pearadaban......hlm.149-150
[11] Ibid., hlm.151-153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar