Disintregasi dalam bidang politik
sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Hal itu disebabkan
karena kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh sebagian besar warganegara,
akibat sistem politik kerajaan yang diktator. Aspirasi yang tidak tersalurkan,
hak-hak yang terampas, dan penindasan-penindasan mendorong penduduk untuk
bangkit memberontak. Pemberontakan seperti itu juga terjadi pada masa
pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Namun, pemberontakan-pemberontakan itu dapat
ditumpas pada masa pemerintahan Bani Umayyah, dan masa pemerintahan Dinasti
Abbasiyah periode pertama.[3]
Setelah
masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pertama berakhir, keadaan politik dunia
Islam dengan cepat mengalami kemunduran. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah kuat
secara politik hanya pada periode pertama saja. Pada periode selanjutnya,
pemerintahan Dinasti Abbasiyah mulai menurun. Masa disintegrasi atau perpecahan
yang terjadi pada masa Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul
pemerintahan baru selain pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa
pemerintahan al-Mutawakkil sampai dengan al-Muntashir (27 khalifah).[4]
Pada masa ini hubungan antara Abbasiyah sebagai pusat pemerintahan dan
dinasti-dinasti baru dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Dinasti
yang menyatakan setia pada khalifah, tetapi tidak mengirimkan hasil pajaknya
pada pemerintahan pusat.
2. Dinasti
yang sejak awal pembentukannya sudah menyatakan tidak tunduk pada Abbasiyah.
Mulai periode kedua inilah,
wibawa khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para panglima tentara
merebut kekuasaan dari khalifah. Namun, kekuasaan para tentara itu tidak
bertahan lama karena lemah dengan sendirinya, karena mereka saling berselisih
dan tidak didukung penduduk akibat kelaliman mereka. Hal itulah yang menjadi
latar belakang bermulanya masa disintregasi, masa ketika dunia Islam
terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan.
Propinsi-propinsi
tertentu di pinggiran mulai melepaskan diri dari genggaman penguasa Dinasti
Abbasiyah. Ada pemimpin lokal yang menggerakkan pemberontakan dan berhasil
menegakkan kemerdekaan penuh. Ada juga gubernur yang ditunjuk khalifah menjadi
sedemikian kuat, sehingga membentuk pemerintahan sendiri yang bersifat otonom.
Dan ada juga dinasti yang muncul di daerah-daerah karena tampilnya tokoh-tokoh
kuat yang kemudian menjatuhkan penguasa lokal dan mendirikan dinasti sendiri.
Pada periode pertama
Dinasti Abbasiyah, muncul fanatisme kebangsaan yang mengambil bentuk gerakan syu’ubiyah
(kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang menginspirasi banyak gerakan
politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Dinasti-dinasti yang tumbuh
dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada
yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada
juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[5]
Dinasti-dinasti yang
berdiri pada masa Bani Abbasiyah terdapat dinasti yang cukup besar, tetapi
kebanyakan yang lain adalah dinasti-dinasti kecil. Semua dinasti tersebut, baik
yang berdiri di dunia Islam bagian barat maupun bagian timur, mengambil sistem
politik yang sama, yaitu negara kerajaan (monarki). Sebagian besar para
penguasa dinasti-dinasti itu tidak menghargai hak-hak warganya dan tidak
menghargai kemerdekaan, jiwa, kehormatan, dan harta benda manusia. Tidak ada
satu pun dinasti yang menjalankan sistem politik berdasarkan konstitusi, tidak
bersandar pada undang-undang, atau sistem ekonomi tertentu.
Di bawah ini akan
dibahas beberapa dinasti-dinasti kecil yang berdiri di wilayah barat dan timur
Baghdad. Dinasti-dinasti tersebut antara lain:
A. Dinasti – Dinasti Di Barat Baghdad
1. Dinasti Idrisiyah (789 M – 926 M)
a. Sejarah Pembentukan
Telah
kita ketahui bahwa kesuksesan yang diraih oleh Bani Abbasiyah dalam
menumbangkan kekuasaan Bani Umayyah tidak lepas dari dukungan dan bantuan
beberapa kelompok yang memiliki andil besar seperti keluarga alawiyun dan
kelompok Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa jika Abbasiyah telah berkuasa, mereka
akan mendapatkan haknya yang selama ini hilang dan dirampas Umayyah. Tetapi,
ketika usaha penggulingan itu berhasil apa yang mereka inginkan itu tidak
kunjung tiba, tampaknya mereka merasa dikhianati oleh Bani Abbasiyah. Hal
inilah yang menyebabkan mereka akhirnya menempatkan diri sebagai kelompok
oposan dan membuat kekuasaan tersendiri yang terlepas dari Bani Abbasiyah.
Karena
kekecewaan itulah lalu kelompok alawiyun melakukan pemberontakan yang digawangi
oleh dua orang bersaudara dari keturunan Ali Bin Abi Thalib, yaitu Muhammad
(al-Nafs al-Zakiyyah) dan Ibrahim, yang mana keduanya adalah putra Abdullah Ibnu
Hasan Ibnu Ali. Akan tetapi, pemberontakan mereka dapat dilumpuhkan oleh
penguasa, dikarenakan pasukan penguasa Abbasiyah masih sangat kuat. Dan dalam
pertempuran itu dua bersaudara tersebut akhirnya terbunuh.
Ketika
kekhalifahan di tangan Al-Hadi, kelompok Alawiyun kembali melakukan
pemberontakan terhadap Bani Abbasiyah di Fakh (kota kecil antara Mekkah dan
Madinah) yang dipimpin oleh Al-Husain Ibnu Ali Ibnu Al-Hasan yang dikenal
dengan peristiwa mauqi’ fakh. Dalam pertempuran ini kelompok Alawiyun
gagal, dan mengakibatkan Al-Hasan gugur bersama sejumlah keluarga Alawiyun yang
lain. Terdapat dua orang yang berhasil meloloskan diri dari keluarga Alawiyun,
yaitu Idris ibnu Abdillah dan saudaranya, Yahya ibnu Abdillah. Idris melarikan
diri ke daerah barat yaitu Maroko (Afrika Utara), dan Idris inilah yang
kemudian dikenal sebagai perintis berdirinya Dinasti Idrisiyah. Dari sini dapat
diketahui bahwa Dinasti Idrisiyah merupakan salah satu dinasti yang muncul di
saat posisi kekhalifahan Abbasiyah masih kuat.
Wilayah
kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah Maghribi (Maroko).[6]
Dinasti ini adalah dinasti pertama yang beraliran syiah. Sultan Idrisiyah yang
terbesar adalah Yahya IV (905 M – 922 M). Dalam perkembangannya dinasti ini
sempat mengukir peradaban yang maju di masanya. Idris ibnu Abdullah memilih
Maroko sebagai basis kekuatannya dengan beberapa alasan. Pertama, Bangsa
Barbar di Maroko menerima kehadirannya dengan tangan terbuka. Kedua,
Maroko cukup kondusif untuk mendirikan kekuasaan yang otonom.
b. Kemajuan yang Dicapai
Pada
saat Dinasti Idrisiyah dipimpin oleh Idris II sampai Yahya IV, pemerintahan
Idrisiyah mampu melebarkan sayap-sayapnya. Orang-orang Barbar direkrut untuk
mendukung pemerintahan mereka. Idris kemudian menjadikan kota Fez sebagai ibukota
pemerintahan pada tahun 808 M. Bahkan, Fez mampu menjadi kota terkenal di
Afrika hingga Spanyol. Dinasti Idrisiyah berperan dalam menyebarkan budaya dan
agama Islam ke Bangsa Barbar dan penduduk asli.[7]
Dan peradaban luar biasa yang diukir oleh dinasti ini adalah pendirian
Universitas Qarawiyyun yang megah dan terkenal.[8]
c. Kemunduran dan Kehancuran
Kemunduran
dan kehancuran Dinasti Idrisiyah terjadi ketika dinasti ini dipimpin oleh
Muhammad al-Muntashir, beberapa wilayah kekuasaan dinasti ini mengalami
perpecahan. Selain itu juga terdapat ancaman serius yang datang dari kelompok
khawarij Rustamiyah yang berkuasa di Aljazair bagian barat meskipun pada
akhirnya dapat dikalahkan. Dan bahaya yang lain adalah ancaman dari dinasti
baru yang lebih besar yaitu Dinasti Fathimiyah, yang berhasil mengambil alih
kekuasaan setelah mengalahkan dan melemahkan kekuasaan Dinasti Idrisiyah.
2. Dinasti Aghlabiyah (800 M – 909 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti
Aghlabiyah merupakan sebuah dinasti yang pusat pemerintahannya berada di
Qairawan, Tunisia. Nama dinasti ini dinisbatkan dari nama Ibrahim ibnu
al-Aghlab, seorang Khurasan yang menjadi perwira dalam barisan tentara
Abbasiyah pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Pada masa
pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid tersebut di daerah bagian barat Afrika
Utara muncul dua kekuatan yang mengancam stabilitas kekhalifahan Abbasiyah.
Kekuatan tersebut adalah Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syiah dan kelompok
Khawarij.
Dalam
rangka mempertahankan pemerintahan Abbasiyah itulah kemudian Harun al-Rasyid
mengirimkan bala tentaranya ke Ifriqiyah (sekarang Tunisia) di bawah pimpinan
ibnu al-Aghlab dan berhasil menumpas kelompok Khawarij. Dengan keberhasilan
yang dicapai itulah, Ibrahim mengusulkan kepada khalifah agar wilayah Ifriqiyah
tersebut dihadiahkan kepadanya dan keturunannya secara permanen. Usulan Ibrahim
itu kemudian disetujui khalifah dan secara resmi ia diangkat sebagai gubernur
di Tunis pada tahun 800 M serta diberi hak otonomi secara luas, dan sebagai
imbalannya dia harus membayar upeti tahunan sebesar 40.000 dinar kepada
khalifah di Baghdad.[9]
Dalam
perjalanan selanjutnya, hubungan Ibrahim semakin baik dengan khalifah
Abbasiyah. Setelah satu tahun menjadi amir, khalifah kemudian memberikan hak
otonomi penuh kepada Ibrahim untuk mengatur wilayahnya dan menentukan kebijakan
politiknya, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan sedikitpun
dari khalifah walaupun secara formal masih tetap mengakui kekhalifahan Baghdad.[10]
Dengan demikian Ibrahim ibnu Aghlab membina wilayah ini dengan keturunannya,
yang kemudian dikenal dengan Dinasti Aghlabiyah.
b. Kemajuan yang Dicapai
Sosok
Ibrahim I adalah sosok panglima militer Abbasiyah yang gagah perkasa. Penguasa
Dinasti Aghlabiyah ini mulai dari Ibrahim I dan para penggantinya mampu
menumpas beberapa pemberontakan yang bermunculan. Kesuksesan para penguasa
dalam menumpas para pemberontak menunjukkan bahwa Dinasti Aghlab merupakan
dinasti yang dibangun atas kekuatan yang mampu memelihara stabilitas politik
pemerintahan secara baik.
Terdapat
beberapa kemajuan yang dicapai Dinasti Aghlabiyah yang mampu memberikan
kontribusi kepada peradaban Islam. Kemajuan tersebut meliputi:
1) Kemajuan
di bidang politik
Salah
satu kemajuan Dinasti Aghlabiyah yang terkenal adalah kemajuan dan ketangguhan
militernya. Armada laut dinasti ini mampu menjelajah pulau-pulau di laut tengah
dan pantai-pantai Eropa. Dinasti yang semula hanya memilki wilayah kegubernuran
telah mencuat kekuasaannya hingga ke Eropa, Sisilia, pulau-pulau yang
berdekatan dengan Tunisia, kota-kota Pantai Italia dan kota Roma serta Pantai
Yugoslavia. Kesuksesan yang diraih dinasti ini dalam menaklukkan berbagai
wilayah tersebut, di antaranya adalah semangat egalitarianisme, dengan tidak
membeda-bedakan antara orang Arab dengan orang Barbar.[11]
Di
samping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah semangat jihadnya untuk
mengembangkan Islam. Hal ini terbukti dengan adanya kebijakan Ziadatullah I
yang menunjuk seorang faqih mazhab Maliki yang juga penyusun kitab Asadiyat,
sebagai komandan perang. Ulama besar yang berpengaruh ini kemudian
mengumandangkan jihad melawan orang-orang kafir. Semangat pasukan Islam dalam
jihad ini sangatlah tinggi dikarenakan pimpinan mereka adalah orang yang alim
dalam beragama.
2)
Kemajuan di bidang
budaya
Pada
masa Dinasti Aghlabiyah beberapa kota dibangun menjadi kota yang megah di
antaranya kota Tunisia dan Sisilia, masjid-masjid pun juga dibangun yaitu
masjid Qairawan. Pada masa pemerintahan Ziadatullah dibangun 10.000 benteng
pertahanan di Afrika Utara dengan konstruksi dan arsitektur yang megah pula.
Kota sisilia yang dikuasai Dinasti Aghlabiyah ini merupakan wilayah
transformasi ilmu dan kebudayaan Arab dan Islam ke wilayah Eropa.
3) Kemajuan
di bidang ilmu pengetahuan
Dinasti
Aghlabiyah juga mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini
dibuktikan dengan keberadaan kota Qairawan, sebagai pusat penting bagi
perkembangan mazhab Maliki yang menggantikan kota Madinah.[12]
Di kota ini pula lahir sejumlah intelektual Islam terkemuka mazhab Maliki, di
antaranya adalah Sahnun pengarang kitab Mudawwanat, Yusuf ibnu Yahya,
Abu Zakaria al-Kinani dan Isa ibnu Muslim. Karya-karya mereka tentang mazhab
Maliki tersimpan dengan baik di masjid Qairawan. Meskipun dinasti ini bukan
termasuk dinasti yang besar, akan tetapi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
dan agama serta kontribusinya terhadap peradaban Islam tampak nyata.
4) Kemajuan
di bidang perekonomian
Di
bidang ekonomi, pemerintahan Dinasti Aghlabiyah mendapatkan pemasukan dari
beberapa sektor, yaitu sektor pertanian, perdagangan, dan industri. Dinasti ini
membangun bendungan untuk irigasi, dan juga mengembangkan perkebunan anggur dan
kurma. Sementara itu untuk memajukan bidang perdagangan, dibangunlah jalan-jalan
dan angkutan serta lalu lintas perdagangan.
Untuk
mengembangkan sektor industri, Bani Aghlabiyah mendirikan manufaktur alat-alat
pertanian, pengolahan emas, perak, dan lain-lain. Kemajuan ekonomi ini
menjadikan pemerintahan Dinasti Aghlabiyah dengan segenap penduduknya hidup
dengan relatif makmur.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Setelah Bani
Aghlabiyah berkuasa selama satu setengah abad, lambat laun dinasti ini
mengalami tangga penurunan tepatnya pada abad ke-IX. Kemunduran ini terjadi di
bidang politik, sebabnya adalah gencarnya propaganda orang-orang Syi’ah yang
dimotori Abu Abdullah al-Syi’i atas perintah Ubaidillah al-Mahdi, pendiri dinasti
Fathimiyah. Kuatnya pasukan yang dibentuk kelompok Syi’ah dari sekte Ismailiah
ini kemudian mampu menggulingkan Dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M, yang pada
saat itu diperintah oleh Ziadatullah II, dan sekaligus menandai berdirinya dinasti
baru dan terkenal bernama Dinasti Fathimiah. Artinya, Dinasti Aghlabiyah juga
berakhir di tangan Dinasti Fathimiyah.[13]
3. Dinasti Thuluniyah (868 M – 905 M)
a. Sejarah Pembentukan
Awal
berdirinya dinasti ini tidak bisa dilepaskan dari seorang tawanan perang Turki
yang kemudian dijadikan sebagai pengawal istana al-Musta’in, namanya Bayakbek.
Pada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh al-Mu’tazz,
Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’tazz dan meninggalkan al-Musta’in. Setelah
penggulingan berhasil, ternyata al-Mu’tazz memberikan jabatan penting bagi
mereka yang telah berjasa dalam penggulingan tersebut. Bayakbek adalah salah
satu orang yang berjasa, sehingga ia menerima jabatan penting tersebut yakni
menjadi gubernur Mesir. Oleh Bayakbek jabatan itu tidak dipegangnya tetapi
diberikan kepada anaknya Ibnu Thulun, yang kemudian ia mendirikan Dinasti
Thuluniyah.
Pada
tahun 263 M Ibnu Thulun secara resmi diangkat sebagai gubernur Mesir.
Selanjutnya, Ibnu Thulun melepaskan diri dari kekhalifahan Bani Abbasiyah.
Bahkan, ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat, Aleppo, dan Antiokia.
Karena itu ia kemudian tidak hanya menjadikan Mesir sebagai suatu wilayah yang
merdeka, akan tetapi juga berkuasa atas wilayah Syam. Ia lalu membangun armada
laut tangguh yang berpangkalan di Akka (Acre) sebagai upaya pengontrolan dan
pengawasan wilayah-wilayah kekuasaannya.
b. Kemajuan yang Dicapai
Dinasti
Thulun mencatat berbagai prestasi, antara lain sebagai berikut:[14]
a) Mendirikan
bangunan-bangunan megah, seperti rumah sakit Fustat, masjid Ibnu Thulun, dan
istana khalifah yang kemudian dijadikan sebagai peninggalan sejarah Islam yang sangat
bernilai.
b) Memperbaiki
nilometer (alat pengukur air) di pulau Raufah yang sangat membantu dalam
meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir.
c) Berhasil
membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat kebudayaan Islam yang
dikunjungi para ilmuwan dari seluruh pelosok dunia Islam.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Dinasti
Thulun adalah sebuah dinasti Islam yang masa pemerintahannya paling cepat
berakhir.[15]
Sepeninggal Khumarawaih, situasi memanas yaitu setelah Abu Asakir al-Jaisy
menggantikan ayahnya yang disebabkan oleh peristiwa pembunuhannya terhadap
pamannya yaitu Mudhar ibnu Ahmad ibnu Thulun. Hal ini menyebabkan gencarnya
perlawanan antara pihaknya dengan para fuqaha dan qadhi yang pada akhirnya
kepemimpinan Jaisy dibatalkan. Lalu diangkatlah Abu Musa Harun sebagai amir
yang baru dalam usia 14 tahun.
Tampaknya
dengan usia yang relatif masih sangat kecil ini menyebabkan Harun kurang cakap
dalam memimpin pemerintahannya, sehingga dia tidak mampu menghalau suasana yang
semakin kacau pada masanya pemerintahannya. Sementara itu di Syam sendiri,
pemberontakan yang dilakukan oleh Qaramithah juga tidak berhasil dipadamkan.
Segera setelah Harun kalah, kepemimpinannya diambil alih ke tangan khalifah
Syaiban bin Thulun. Dinasti Thulun memerintah sampai 38 tahun dan berakhir ketika
dikalahkan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah dan setelah khalifah Syaiban
terbunuh.
4. Dinasti Ikhsidiyah (935 M – 969 M)
a. Sejarah Pembentukan
Tidak
berselang lama setelah berakhirnya Dinasti Thuluniyah, muncul lagi dinasti baru
di Mesir dengan nama Dinasti Ikhsidiyah yang berpusat di Fustat. Dinasti ini
lahir diawali dengan pengangkatan seorang gubernur yang memiliki kekuasaan dan
hak otonom penuh yang kemudian dikelola bersama keluarga dan keturunannya.
Pendiri
dinasti ini adalah seorang militer Turki yang telah lama mengabdi kepada
khalifah Abbasiyah yang bernama Muhammad ibnu Tughji. Karena keberhasilannya
meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir, maka ia
dianugerahi gelar al-Ikhsyid. Berkat keberhasilannya tersebut, khalifah menjadi
simpati kepadanya. Bahkan karena kecakapannya, ada salah seorang pangeran
Romawi yang bernama Romanus, menyatakan rasa kagum dan hormat kepadanya.
b. Kemajuan yang Dicapai
Setelah
Dinasti Ikhsidiyah berdiri dan mengalami perkembangan, al-Ikhsyid meninggal
dunia. Kemudian kepemimpinan beralih kepada anaknya yang bernama Unujur bin Ali.
Kedua pengganti al-Ikhsyid ini masih anak-anak, sehingga pemerintahan dinasti
ini diserahkan kepada Abu al-Misk Kafur. Di masa pemerintahan Kafur inilah Dinasti
Ikhsidiyah mencapai kegemilangan. Salah satu kehebatan Kafur adalah ia dapat
memadamkan pemberontakan Dinasti Fathimiyah di sepanjang pantai Afrika Utara.
Bukan hanya itu saja, serangan dari Dinasti Hamdaniyah di Suriah utara juga dapat
dipadamkan. Kegemilangan Dinasti Ikhsidiyah lebih tampak pada kekuatan
militernya. Wilayah-wilayah yang pernah ditaklukkan oleh Dinasti Ikhsidiyah
adalah Syam, Palestina, Makkah, dan Madinah.[16]
Kafur
juga membangun istana yang terkenal dengan sebutan Bustan al-Kafur di Raudah.
Dan pada saat kekuasaan dinasti ini pula muncul beberapa intelektual Muslim
ternama antara lain Abu Ishak al-Marwazi, Hasan ibnu Rasyid al-Misri, Muhammad
ibnu Walid al-Tamimi, dan al-Mutanabbi.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Tanda-tanda
kemunduran Dinasti Ikhsidiyah dimulai setelah Kafur meninggal dunia.
Sepeninggal Kafur kekhalifahan digantikan oleh Ahmad, cucu Muhammad ibnu
Tughji. Di zaman Ahmad, Ikhsidiyah mengalami fase kemunduran dan kehancuran.
Pada masanya propaganda Syi’ah Fathimiyah dilakukan secara gencar oleh Jauhar
al-Saqily Qa’id al-Muiz Lidnillah al-Fatimi yang berhasil mempengaruhi
masyarakat Mesir, sehingga pada akhirnya dinasti ini resmi telah jatuh ke
tangan Dinasti Fathimiyah.
5. Dinasti Hamdaniyah (905 M – 1004 M)
a. Sejarah Pembentukan
Gerakan
keluarga Hamdani ini sebenarnya sudah ada pada masa khalifah al-Mu’tadhid, yang
waktu itu tampil dengan aksi menentang khalifah Abbasiyah. Gerakan ini gagal
dan akibatnya beberapa anggota keluarga hamdani ditangkap. Namun akhirnya
khalifah Abbasiyah membebaskan mereka, setelah al-Husain ibnu Hamdan menangkap
tokoh khawarij Harun al-Syari. Ketika bani Abbasiyah diperintah khalifah
al-Muqtadir, nasib keluarga Hamdani mengalami perubahan, keluarga ini banyak memperoleh
penghargaan dari khalifah, diantaranya adalah Abu al-Haija’ Abdullah ibnu
Hamdan dijadikan gubernur Mousul (Irak), sedangkan Sa’id diangkat menjadi
gubernur Nahawand.
Dari
Abu al-Haija’ yang berkuasa di Mousul ini lahir dua anaknya yang kemudian
menjadi penguasa Dinasti Hamdaniyah. Kedua putranya tersebut adalah Muhammad
al-Hasan ibnu Abdullah yang bergelar Nashir al-Daulat dan Abu al-Mahasin ibnu
Abdullah yang bergelar Saif al-Daulat. Nashir al-Daulat diangkat sebagai
pengganti ayahnya, di tangannya inilah keluarga Hamdaniyah memiliki kekuasaan
otonom di Mousul. Sedangkan, Saif al-Daulat berkuasa di Aleppo (Suriah), dan ia
dikenal sebagai pendiri Dinasti Hamdaniyah di wilayah Aleppo. Hal ini berarti,
Dinasti Hamdaniyah memiliki perbedaan dengan dinasti kecil yang lain, kalau
dinasti kecil lain hanya berpusat pada satu tempat, tetapi pemerintahan Dinasti
Hamdaniyah berpusat pada dua tempat, yaitu cabang Mousul dan cabang Aleppo.
Meskipun Aleppo merupakan bawahan Mousul, akan tetapi pada kenyataannya sering
terlihat kedinastian Aleppo lebih mendominasi, lebih kuat, dan tidak bergantung
kepada Mousul.
b. Kemajuan yang Dicapai
Prestasi
gemilang yang diukir oleh Dinasti Hamdaniyah lebih tampak pada wilayah
politiknya. Dinasti ini mampu memainkan peran penting sebagai pagar betis untuk
mempertahankan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang ketika itu berada pada tahap
kemunduran. Bahkan, Dinasti Hamdani ini sebagai suatu kekuatan, yang mampu
menahan pasukan Romawi untuk merebut seluruh wilayah Suriah. Pasukan Hamdani
cukup kuat dalam mempertahankan wilayah Islam.
Bidang
lain yang juga patut dihargai dari Dinasti Hamdaniyah adalah perhatiannya yang
cukup besar terhadap dunia intelektual. Hal ini terbukti di masa dinasti ini
muncul sejumlah nama-nama intelektual Muslim, yakni al-Farabi, al-Isfahani, dan
al-Firas. Meskipun dinasti ini bukanlah dinasti yang besar, tetapi pencapaiannya
jelas nampak.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Pada
tahun 976 M, Saif al-Daulat meninggal dunia, kepemimpinan selanjutnya
digantikan oleh putranya Sa’ad al-Daulat Syarif I yang kemudian secara
berturut-turut dipegang oleh Sa’d Daulat Sa’d, Ali II, Syarif II. Berbeda
dengan Saif al-Daulat, para penggantinya ini kurang memiliki kecakapan dalam
memimpin, terutama dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan asing yang besar waktu
itu yaitu Bani Buwaihi, Romawi, dan Fathimiyah. Akhirnya Dinasti Hamdaniyah
dapat dikuasai oleh Dinasti Fathimiyah pada tahun 1004 M, ini berarti bahwa
kekuasaan dinasti Hamdaniyah sudah berakhir.
B. Dinasti – Dinasti Di Timur Baghdad
1. Dinasti Thahiriyah (820 M – 872 M)
a. Sejarah Pembentukan
Pendiri
Dinasti Thahiriyah adalah Thahir ibnu al-Husain. Wilayah kekuasaannya di
sekitar Khurasan, termasuk Transoxania, dengan ibukota di Merv.[17]
Sejarah pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perselisihan antara
al-Amin dan al-Makmun, keduanya adalah putra Harun al-Rasyid. Dalam
perselisihan tersebut, Thahir yang dikenal sebagai ahli perang, berada di pihak
al-Makmun. Ketika peperangan melawan al-Amin ini pasukan yang dipimpin oleh Thahir
mengalami kemenangan, sehingga al-Makmun dikukuhkan menjadi khalifah Abbasiyah.
Dengan
kemenangan tersebut Thahir mendapat jabatan menjadi gubernur di kawasan timur
Baghdad. Jabatan ini dipegangnya selama dua tahun. Pada tahun 207 H Thahir
meninggal dengan tiba-tiba karena penyakit demam yang dideritanya. Ada pula
yang menyebutkan bahwa ia meninggal karena keracunan. Sebelum meninggal, ia
sudah mulai menghapus nama al-Makmun dalam khutbah-khutbah jumat, ini berarti
bahwa kekuasaan Thahir ini lepas dari Abbasiyah, walaupun tidak melepaskan diri
secara total.
Kepemimpinan
Thahir kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Thalhah bin Thahir.
Thalhah berupaya meningkatkan hubungan kerja sama dengan pemerintahan pusat.
Ini artinya bahwa Dinasti Thahiriyah pada realitasnya masih memiliki hubungan baik
dengan pemerintahan pusat Bani Abbasiyah. Pengganti Thalhah adalah Abdullah bin
Thahir, ia adalah saudara Thalhah sendiri. Pengangkatan khalifah yang ketiga
kalinya ini menunjukkan betapa kuatnya dominasi keluarga Thahir dalam
pemerintahan, sehingga kekuasaannya diserahkan secara turun-temurun.
b. Kemajuan yang Dicapai
Kemajuan
Dinasti Thahiriyah terjadi pada masa kepemimpinan Abdullah ibnu Thahir, yaitu
khalifah ketiga dinasti ini. Ia adalah penguasa yang memiliki pengaruh yang
besar. Pengaruh besar itu tampak pada upaya-upaya yang dilakukannya, antara
lain meningkatkan kerja sama dengan pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah,
terutama dalam kaitannya dengan upaya meredam para pemberontak, juga
melaksanakan perjanjian dengan baik, memberikan hak-hak Bani Abbas sebagai keluarga
penguasa, memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan keamanan, dan
meningkatkan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak.[18]
Abdullah ibnu Thahir juga berhasil menjadikan kota Nishapur menjadi pusat
peradaban Islam yang patut diperhitungkan.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Pasca
pemerintahan Abdullah ibnu Thahir, kekuasaan Dinasti Thahiriyah mulai mengalami
penurunan. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muhammad bin Jabir, wilayah
Khurasan mengalami kemunduran yang kian nampak jelas, dan bersamaan itu pula muncul
sebuah kekuatan baru dari Dinasti Shaffar di wilayah Sijistan, dan selanjutnya
wilayah Khurasan pun dapat dikuasai oleh Dinasti Shaffariyah. Dan dengan
jatuhnya kekuasaan Thahiriyah yang ada di Wilayah Khurasan ini maka berakhir pula
pemerintahan Dinasti Thahiriyah.
2. Dinasti Shaffariyah (867 M – 1495 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti
shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yng paling lama berkuasa di dunia
Islam. Pendiri dinasti ini adalah Ya’qub ibnu al-Lais al-Shaffar. Nama Shaffariyah
sendiri diambil dari nama pekerjaan pendirinya, Ya’qub ibnu al-Lais, yaitu
sebagai tukang barang-barang kuningan/tembaga. Sejak kecil ia tekuni pekerjaan
ini di perusahaan ayahnya. Dan sejak ayahnya meninggal dunia dan perusahaan itu
dikelola oleh dia dan adiknya, Amr ibnu al-Lais, perusahaan ini semakin
merosot. Karena itulah, kemudian ia dan adiknya masuk ke dalam kelompok
penyamun. Ketika terjadi kekacauan, gerombolan penyamun ini muncul, mereka
membegal kafilah-kafilah dagang maupun iring-iringan pembesar pemerintahan. Hal
ini semakin menambah kemelut dan kekacauan terhadap kehidupan rakyat dan
kehidupan ekonomi secara umum.
Sekalipun
Ya’qub adalah seorang penyamun, tetapi ia dermawan, ia gemar membantu
orang-orang yang tertindas, dan merampok hanya pada orang-orang hartawan yang
hidup dari hasil pemerasan juga. Sedangkan orang-orang yang dianggap baik tidak
diganggunya. Lambat laun kelompoknya menjadi pasukan yang besar, teratur dan
mempunyai disiplin tinggi, yang semakin hari semakin mengharumkan namanya.
Ketika Ya’qub sudah mulai kuat, pada tahun 867 M, ia memulai gerakannya. Ia
melakukan perluasan wilayah ke Sijistan dan Punjab dan pada tahun yang sama ia
memproklamirkan dirinya sebagai penguasa. Pada tahun itu pula ia dapat merebut benteng
Herat bagian utara, perbatasan wilayah Khurasan. Ia meneruskan untuk menguasai
wilayah Makran (Balukhistan) dan wilayah Fars. Benteng Kirman telah dikuasai
sebelum penaklukan wilayah tersebut.
b. Kemajuan yang Dicapai
Setelah
Ya’qub memproklamirkan dirinya menjadi penguasa baru dan dilanjutkan dengan
ekspansi ke wilayah-wilayah di sekitarnya, kemudian pada dua tahun berikutnya,
ia mempersiapkan kekuatan baru, sambil menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah
Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di sana sini sebagai reaksi atas
pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 255 H terjadilah puncak kemelut di ibukota
Samarra. Demikian pula khalifah penggantinya pun, khalifah al-Muhtadi, dianggap
sebagai khalifah yang lemah. Sehingga wibawa pemerintah tampak berkurang.
Menyusul
kesuksesan sebelumnya, maka pada tahun berikutnya ia melanjutkan penguasaan
atas kota Kabul dan kota bentang Balkh. Ia juga merebut Khurasan pada tahun 873
M. Meskipun kesuksesan banyak dicapai oleh Ya’qub tetapi hubungan dengan
pemerintahan Abbasiyah masih baik. Hubungan baik dengan Abbasiyah itu semakin
mengukuhkan pemberian khalifah atas beberapa kota penting antara lain Balkh,
Thurkhanistan, Kirman, Sijistan, dan daerah lainnya.
Dalam
perjalanan sejarah berikutnya tampaknya Ya’qub memang berpotensi menjadi
pemimpin besar. Ia terus melebarkan kekuasaannya sampai di wilayah Khurasan.
Hal ini menyebabkan, khalifah merasa terancam kedudukannya di Baghdad, sehingga
khalifah memberi peringatan, akan tetapi Ya’qub tidak mengindahkan peringatan
tersebut, bahkan menentangnya dengan mengandalkan kekuatan pasukannya. Melihat
besarnya kekuatan pasukan Ya’qub, khalifah pun membiarkannya dan mengutus kurir
untuk menyerahkan wilayah Khurasan, Thibristan, Jurjan, al-Ra dan Persia,
sekaligus mengangkatnya sebagai amir.
Kegemilangan
Ya’qub dalam perluasan wilayah ini menjadikannya berkeinginan untuk menguasai
Baghdad. Tetapi upayanya ini tidak berhasil karena sekitar dua puluh kilometer
dari ibukota, ia mengalami kekalahan pahit di tangan al-Muwaffaq, wali khalifah
dan meninggal pada tahun 879 M, sebelum perundingan dengan al-Muwaffaq selesai.
Segera saja wali mengakui saudaranya Amr ibnu al-Lais sebagai penggantinya,
sebagai gubernur semua wilayah yang telah ditaklukkan.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Dengan
meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di tangan Amr, ia
menerima kekuasaan atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia
mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya
diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap berusaha
memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang saat itu
secara formal berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi sesungguhnya
yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini lebih kuat dari pada
Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu Ahmad dari Bani
Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap. Akhirnya semua hasil penaklukan
terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam kekuasaannya.
Sebenarnya
ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya kurang mendapatkan
perhatian oleh para sejarawan. Ketiga penerus itu adalah Thahir ibnu Muhammad,
al-His ibnu Ali, dan al-Mua’addil ibnu Ali. Dinasti ini semakin melemah karena
pemberontakan dan kekacauan dalam pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi
mengambil alih kekuasaan Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti
Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti
Shaffariyah di Sijistan.[19]
3. Dinasti Samaniyyah (874 M – 1005 M)
a. Sejarah Pembentukan
Dinasti
Samaniyyah ini ditengarai sebagai keturunan seorang tuan tanah di wilayah Balkh
yang bernama Saman Khuda yang masuk Islam. Orang-orang Samaniyyah ini
menganggap dirinya masih keturunan kaisar-kaisar Samaniyyah. Dalam sejarah
disebutkan bahwa telah banyak terjadi percampuran darah antara bangsa Persia
dengan bangsa Arab. Banyak putra putri dari keturunan bangsawan Iran (Persia)
menikah dengan bangsawan Bani Hasyim. Di zaman al-Makmun mereka diberi
jabatan-jabatan penting, sehingga putra Asad ibnu Saman, cucu Saman Khuda,
mendapatkan kedudukan yang baik dari Bani Abbas. Sebagian yang lain diangkat
menjadi gubernur di wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti
Thahiriyah.
Nama
Ahmad ibnu Asad cukup terkenal, karena ia pemimpin yang adil dan bijaksana.
Setelah ia meninggal kepemimpinannya digantikan oleh Nashr. Nashr diangkat
sebagai penglima perang oleh khalifah al-Mu’tamid pada tahun 875 M, ia mampu
merebut wilayah yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Thahiriyah. Akhirnya, ia
pun memindahkan ibukota wilayah dari Bukhara ke Samarkand. Nashr ibnu Ahmad
diangkat menjadi gubernur oleh khalifah al-Mu’tamid untuk wilayah Transoxania.
Sejarah
dinasti ini tidaklah selalu berjalan lancar. Perselisihan antar saudara pernah
terjadi, yaitu antara Nashr ibnu Ahmad (penguasa Transoxania), dengan
saudaranya Ismail ibnu Ahmad (penguasa Bukhara). Sepeninggal Nashr,
kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Ismail ibnu Ahmad. Ismail mampu memperluas
wilayahnya sampai ke wilayah Khurasan. Kemudian khalifah al-Mu’tadhi
mengangkatnya sebagai wali di kawasan Transoxania, dengan demikian memungkinkan
Ismail untuk menguasai Thibristan dan menyatukan Ak Ray. Maka terpeliharalah
batas-batas kekuasaannya dari arah barat. Ini adalah penguasa terbesar
sepanjang kepemimpinan Dinasti Samaniyyah.[20]
b. Kemajuan yang Dicapai
Puncak
kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail. Kemajuan yang
dicapai pada masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti Shaffariyah di
Transoxania, serta mampu memperluas wilayahnya hingga Tabaristan, Ray, Qazwin
sehingga keamanan dalam negeri terjamin.[21]
Dinasti
ini memiliki saham yang cukup berarti bagi perkembangan Islam, baik dari aspek
politik maupun aspek kebudayaan. Dalam aspek politik, misalnya mereka telah
mampu memelihara tempat atau pusat yang strategis bagi daulat Islam di timur,
mengembangkan kekuasaan Islam sampai ke wilayah Turki. Sedangkan dalam aspek kebudayaan,
misalnya di istana Dinasti Samaniyyah di Bukhara ini menjadi tempat menetapnya
para ulama serta merupakan kiblatnya para pujangga.
Pada
masa Nuh ibnu Nashr al-Samani, ia memiliki perpustakaan yang tidak ada
bandingannya. Di dalamnya terdapat kitab-kitab masyhur dari berbagai disiplin
ilmu, yang tidak terdapat di tempat lainnya. Mereka juga membantu menghidupkan
kembali bahasa Persia.
Ketika
paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti yang
digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka
perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat memuncak di tangan daulat
Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu itu.
Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam, seperti al-Farabi, Ibnu Sina,
al-Razi, al-Firdausi, dan lain-lain. Sementara itu di wilayah politik yang
menarik dikaji adalah bahwa munculnya dinasti-dinasti di timur Baghdad ini di
suatu sisi dianggap sebagai pergeseran dominasi Arab dalam dunia politik.
c. Kemunduran dan Kehancuran
Sepeninggal
Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibnu Ismail, anak dari
Ismail. Belum lama memerintah lalu ia terbunuh, dan digantikan oleh putranya
Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para tokoh Samani merasa khawatir,
sementara itu masih ada paman bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad, penguasa
Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania. Lalu tokoh Samani menyampaikan
permohonan kepada khalifah al-Muktadir, agar didatangkan pemerintahan dari
Khurasan, tetapi khalifah bersikeras menolaknya.
Hal
tersebut merupakan awal tumbuhnya bibit perpecahan di tubuh Samaniyyah, ini
memicu pemberontakan para pemimpin dan panglima militer, bahkan para tokoh
militer ada yang bekerjasama dengan pihak musuh. Inilah salah satu faktor yang
menyebabkan keruntuhan Dinasti Samaniyyah. Faktor lain yang mungkin berpengaruh
adalah sebagian pemimpinnya masih berusia sangat muda.
Pada pertengahan
abad kesepuluh, terlihat Dinasti Samaniyyah menunjukkan tanda-tanda
ketidakstabilan. Serangkaian revolusi istana memperlihatkan bahwa kelas militer
dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan sentralisasi administratif para
amir, dan berupaya memegang kendali, pemberontakan-pemberontakan di Khurasan
melepaskan provinsi itu dari otoritas langsung Bukhara. Maka tidaklah sulit
bagi Qarakhaniyyah dan Ghazwaniyah untuk mengambil alih wilayah-wilayah
Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini. Dan pada tahun 1005 M Ismail
al-Muntasir terbunuh dalam pelariannya.[22]
[3] Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaan…, 437.
[4] Istianah Abu
Bakar, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 87.
[5] Ibid…, 438.
[6] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 275.
[7] Ibid…,
[8] Imam Fuadi, Sejarah
Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 158.
[9] W. Montgomery
Watt. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, pent.
Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), 109.
[10] Ibid…,
160.
[11] Ibid…,
161.
[12] Ibid…, 162.
[13] Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaan…, 434.
[14] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban,,,, 276.
[16] Imam Fuadi, Sejarah..,
167.
[17] Ibid…, 172.
[18] Ibid…,
173-174.
[19] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban,,,, 276.
[20] Imam Fuadi, Sejarah..,
180-181.
[21] Istianah Abu
Bakar, Sejarah Peradaban…, 105.
[22] Ibid…,
183-184.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar