Sabtu, 17 Oktober 2015

DINASTI - DINASTI KECIL DI BARAT DAN TIMUR BAGHDAD PADA ZAMAN PEMERINTAHAN BANI ABBASIYAH



Disintregasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Hal itu disebabkan karena kekecewaan-kekecewaan yang dirasakan oleh sebagian besar warganegara, akibat sistem politik kerajaan yang diktator. Aspirasi yang tidak tersalurkan, hak-hak yang terampas, dan penindasan-penindasan mendorong penduduk untuk bangkit memberontak. Pemberontakan seperti itu juga terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Namun, pemberontakan-pemberontakan itu dapat ditumpas pada masa pemerintahan Bani Umayyah, dan masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah periode pertama.[3]
            Setelah masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah pertama berakhir, keadaan politik dunia Islam dengan cepat mengalami kemunduran. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah kuat secara politik hanya pada periode pertama saja. Pada periode selanjutnya, pemerintahan Dinasti Abbasiyah mulai menurun. Masa disintegrasi atau perpecahan yang terjadi pada masa Abbasiyah merupakan perpecahan politik dimana muncul pemerintahan baru selain pemerintahan Abbasiyah di Baghdad, yaitu masa pemerintahan al-Mutawakkil sampai dengan al-Muntashir (27 khalifah).[4] Pada masa ini hubungan antara Abbasiyah sebagai pusat pemerintahan dan dinasti-dinasti baru dapat digolongkan sebagai berikut:

1.      Dinasti yang menyatakan setia pada khalifah, tetapi tidak mengirimkan hasil pajaknya pada pemerintahan pusat.
2.      Dinasti yang sejak awal pembentukannya sudah menyatakan tidak tunduk pada Abbasiyah.
Mulai periode kedua inilah, wibawa khalifah merosot tajam. Dalam keadaan seperti itu para panglima tentara merebut kekuasaan dari khalifah. Namun, kekuasaan para tentara itu tidak bertahan lama karena lemah dengan sendirinya, karena mereka saling berselisih dan tidak didukung penduduk akibat kelaliman mereka. Hal itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasi, masa ketika dunia Islam terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan.
Propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai melepaskan diri dari genggaman penguasa Dinasti Abbasiyah. Ada pemimpin lokal yang menggerakkan pemberontakan dan berhasil menegakkan kemerdekaan penuh. Ada juga gubernur yang ditunjuk khalifah menjadi sedemikian kuat, sehingga membentuk pemerintahan sendiri yang bersifat otonom. Dan ada juga dinasti yang muncul di daerah-daerah karena tampilnya tokoh-tokoh kuat yang kemudian menjatuhkan penguasa lokal dan mendirikan dinasti sendiri.
Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah, muncul fanatisme kebangsaan yang mengambil bentuk gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang menginspirasi banyak gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Dinasti-dinasti yang tumbuh dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[5]
Dinasti-dinasti yang berdiri pada masa Bani Abbasiyah terdapat dinasti yang cukup besar, tetapi kebanyakan yang lain adalah dinasti-dinasti kecil. Semua dinasti tersebut, baik yang berdiri di dunia Islam bagian barat maupun bagian timur, mengambil sistem politik yang sama, yaitu negara kerajaan (monarki). Sebagian besar para penguasa dinasti-dinasti itu tidak menghargai hak-hak warganya dan tidak menghargai kemerdekaan, jiwa, kehormatan, dan harta benda manusia. Tidak ada satu pun dinasti yang menjalankan sistem politik berdasarkan konstitusi, tidak bersandar pada undang-undang, atau sistem ekonomi tertentu.  


Di bawah ini akan dibahas beberapa dinasti-dinasti kecil yang berdiri di wilayah barat dan timur Baghdad. Dinasti-dinasti tersebut antara lain:
A.    Dinasti – Dinasti Di Barat Baghdad
1.      Dinasti Idrisiyah (789 M – 926 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Telah kita ketahui bahwa kesuksesan yang diraih oleh Bani Abbasiyah dalam menumbangkan kekuasaan Bani Umayyah tidak lepas dari dukungan dan bantuan beberapa kelompok yang memiliki andil besar seperti keluarga alawiyun dan kelompok Syi’ah. Mereka beranggapan bahwa jika Abbasiyah telah berkuasa, mereka akan mendapatkan haknya yang selama ini hilang dan dirampas Umayyah. Tetapi, ketika usaha penggulingan itu berhasil apa yang mereka inginkan itu tidak kunjung tiba, tampaknya mereka merasa dikhianati oleh Bani Abbasiyah. Hal inilah yang menyebabkan mereka akhirnya menempatkan diri sebagai kelompok oposan dan membuat kekuasaan tersendiri yang terlepas dari Bani Abbasiyah.
Karena kekecewaan itulah lalu kelompok alawiyun melakukan pemberontakan yang digawangi oleh dua orang bersaudara dari keturunan Ali Bin Abi Thalib, yaitu Muhammad (al-Nafs al-Zakiyyah) dan Ibrahim, yang mana keduanya adalah putra Abdullah Ibnu Hasan Ibnu Ali. Akan tetapi, pemberontakan mereka dapat dilumpuhkan oleh penguasa, dikarenakan pasukan penguasa Abbasiyah masih sangat kuat. Dan dalam pertempuran itu dua bersaudara tersebut akhirnya terbunuh.
Ketika kekhalifahan di tangan Al-Hadi, kelompok Alawiyun kembali melakukan pemberontakan terhadap Bani Abbasiyah di Fakh (kota kecil antara Mekkah dan Madinah) yang dipimpin oleh Al-Husain Ibnu Ali Ibnu Al-Hasan yang dikenal dengan peristiwa mauqi’ fakh. Dalam pertempuran ini kelompok Alawiyun gagal, dan mengakibatkan Al-Hasan gugur bersama sejumlah keluarga Alawiyun yang lain. Terdapat dua orang yang berhasil meloloskan diri dari keluarga Alawiyun, yaitu Idris ibnu Abdillah dan saudaranya, Yahya ibnu Abdillah. Idris melarikan diri ke daerah barat yaitu Maroko (Afrika Utara), dan Idris inilah yang kemudian dikenal sebagai perintis berdirinya Dinasti Idrisiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa Dinasti Idrisiyah merupakan salah satu dinasti yang muncul di saat posisi kekhalifahan Abbasiyah masih kuat.
Wilayah kekuasaan Dinasti Idrisiyah adalah Maghribi (Maroko).[6] Dinasti ini adalah dinasti pertama yang beraliran syiah. Sultan Idrisiyah yang terbesar adalah Yahya IV (905 M – 922 M). Dalam perkembangannya dinasti ini sempat mengukir peradaban yang maju di masanya. Idris ibnu Abdullah memilih Maroko sebagai basis kekuatannya dengan beberapa alasan. Pertama, Bangsa Barbar di Maroko menerima kehadirannya dengan tangan terbuka. Kedua, Maroko cukup kondusif untuk mendirikan kekuasaan yang otonom. 
b.      Kemajuan yang Dicapai
Pada saat Dinasti Idrisiyah dipimpin oleh Idris II sampai Yahya IV, pemerintahan Idrisiyah mampu melebarkan sayap-sayapnya. Orang-orang Barbar direkrut untuk mendukung pemerintahan mereka. Idris kemudian menjadikan kota Fez sebagai ibukota pemerintahan pada tahun 808 M. Bahkan, Fez mampu menjadi kota terkenal di Afrika hingga Spanyol. Dinasti Idrisiyah berperan dalam menyebarkan budaya dan agama Islam ke Bangsa Barbar dan penduduk asli.[7] Dan peradaban luar biasa yang diukir oleh dinasti ini adalah pendirian Universitas Qarawiyyun yang megah dan terkenal.[8]
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Kemunduran dan kehancuran Dinasti Idrisiyah terjadi ketika dinasti ini dipimpin oleh Muhammad al-Muntashir, beberapa wilayah kekuasaan dinasti ini mengalami perpecahan. Selain itu juga terdapat ancaman serius yang datang dari kelompok khawarij Rustamiyah yang berkuasa di Aljazair bagian barat meskipun pada akhirnya dapat dikalahkan. Dan bahaya yang lain adalah ancaman dari dinasti baru yang lebih besar yaitu Dinasti Fathimiyah, yang berhasil mengambil alih kekuasaan setelah mengalahkan dan melemahkan kekuasaan Dinasti Idrisiyah.

2.      Dinasti Aghlabiyah (800 M – 909 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Dinasti Aghlabiyah merupakan sebuah dinasti yang pusat pemerintahannya berada di Qairawan, Tunisia. Nama dinasti ini dinisbatkan dari nama Ibrahim ibnu al-Aghlab, seorang Khurasan yang menjadi perwira dalam barisan tentara Abbasiyah pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid. Pada masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid tersebut di daerah bagian barat Afrika Utara muncul dua kekuatan yang mengancam stabilitas kekhalifahan Abbasiyah. Kekuatan tersebut adalah Dinasti Idrisiyah yang beraliran Syiah dan kelompok Khawarij.
Dalam rangka mempertahankan pemerintahan Abbasiyah itulah kemudian Harun al-Rasyid mengirimkan bala tentaranya ke Ifriqiyah (sekarang Tunisia) di bawah pimpinan ibnu al-Aghlab dan berhasil menumpas kelompok Khawarij. Dengan keberhasilan yang dicapai itulah, Ibrahim mengusulkan kepada khalifah agar wilayah Ifriqiyah tersebut dihadiahkan kepadanya dan keturunannya secara permanen. Usulan Ibrahim itu kemudian disetujui khalifah dan secara resmi ia diangkat sebagai gubernur di Tunis pada tahun 800 M serta diberi hak otonomi secara luas, dan sebagai imbalannya dia harus membayar upeti tahunan sebesar 40.000 dinar kepada khalifah di Baghdad.[9]
Dalam perjalanan selanjutnya, hubungan Ibrahim semakin baik dengan khalifah Abbasiyah. Setelah satu tahun menjadi amir, khalifah kemudian memberikan hak otonomi penuh kepada Ibrahim untuk mengatur wilayahnya dan menentukan kebijakan politiknya, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur tangan sedikitpun dari khalifah walaupun secara formal masih tetap mengakui kekhalifahan Baghdad.[10] Dengan demikian Ibrahim ibnu Aghlab membina wilayah ini dengan keturunannya, yang kemudian dikenal dengan Dinasti Aghlabiyah.
b.      Kemajuan yang Dicapai
Sosok Ibrahim I adalah sosok panglima militer Abbasiyah yang gagah perkasa. Penguasa Dinasti Aghlabiyah ini mulai dari Ibrahim I dan para penggantinya mampu menumpas beberapa pemberontakan yang bermunculan. Kesuksesan para penguasa dalam menumpas para pemberontak menunjukkan bahwa Dinasti Aghlab merupakan dinasti yang dibangun atas kekuatan yang mampu memelihara stabilitas politik pemerintahan secara baik.
Terdapat beberapa kemajuan yang dicapai Dinasti Aghlabiyah yang mampu memberikan kontribusi kepada peradaban Islam. Kemajuan tersebut meliputi:
1)      Kemajuan di bidang politik
Salah satu kemajuan Dinasti Aghlabiyah yang terkenal adalah kemajuan dan ketangguhan militernya. Armada laut dinasti ini mampu menjelajah pulau-pulau di laut tengah dan pantai-pantai Eropa. Dinasti yang semula hanya memilki wilayah kegubernuran telah mencuat kekuasaannya hingga ke Eropa, Sisilia, pulau-pulau yang berdekatan dengan Tunisia, kota-kota Pantai Italia dan kota Roma serta Pantai Yugoslavia. Kesuksesan yang diraih dinasti ini dalam menaklukkan berbagai wilayah tersebut, di antaranya adalah semangat egalitarianisme, dengan tidak membeda-bedakan antara orang Arab dengan orang Barbar.[11]
Di samping itu juga yang tidak kalah pentingnya adalah semangat jihadnya untuk mengembangkan Islam. Hal ini terbukti dengan adanya kebijakan Ziadatullah I yang menunjuk seorang faqih mazhab Maliki yang juga penyusun kitab Asadiyat, sebagai komandan perang. Ulama besar yang berpengaruh ini kemudian mengumandangkan jihad melawan orang-orang kafir. Semangat pasukan Islam dalam jihad ini sangatlah tinggi dikarenakan pimpinan mereka adalah orang yang alim dalam beragama.
2)   Kemajuan di bidang budaya
Pada masa Dinasti Aghlabiyah beberapa kota dibangun menjadi kota yang megah di antaranya kota Tunisia dan Sisilia, masjid-masjid pun juga dibangun yaitu masjid Qairawan. Pada masa pemerintahan Ziadatullah dibangun 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara dengan konstruksi dan arsitektur yang megah pula. Kota sisilia yang dikuasai Dinasti Aghlabiyah ini merupakan wilayah transformasi ilmu dan kebudayaan Arab dan Islam ke wilayah Eropa.
3)      Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan
Dinasti Aghlabiyah juga mengalami kemajuan di bidang ilmu pengetahuan. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan kota Qairawan, sebagai pusat penting bagi perkembangan mazhab Maliki yang menggantikan kota Madinah.[12] Di kota ini pula lahir sejumlah intelektual Islam terkemuka mazhab Maliki, di antaranya adalah Sahnun pengarang kitab Mudawwanat, Yusuf ibnu Yahya, Abu Zakaria al-Kinani dan Isa ibnu Muslim. Karya-karya mereka tentang mazhab Maliki tersimpan dengan baik di masjid Qairawan. Meskipun dinasti ini bukan termasuk dinasti yang besar, akan tetapi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan agama serta kontribusinya terhadap peradaban Islam tampak nyata.

4)      Kemajuan di bidang perekonomian
Di bidang ekonomi, pemerintahan Dinasti Aghlabiyah mendapatkan pemasukan dari beberapa sektor, yaitu sektor pertanian, perdagangan, dan industri. Dinasti ini membangun bendungan untuk irigasi, dan juga mengembangkan perkebunan anggur dan kurma. Sementara itu untuk memajukan bidang perdagangan, dibangunlah jalan-jalan dan angkutan serta lalu lintas perdagangan.
Untuk mengembangkan sektor industri, Bani Aghlabiyah mendirikan manufaktur alat-alat pertanian, pengolahan emas, perak, dan lain-lain. Kemajuan ekonomi ini menjadikan pemerintahan Dinasti Aghlabiyah dengan segenap penduduknya hidup dengan relatif makmur. 
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Setelah Bani Aghlabiyah berkuasa selama satu setengah abad, lambat laun dinasti ini mengalami tangga penurunan tepatnya pada abad ke-IX. Kemunduran ini terjadi di bidang politik, sebabnya adalah gencarnya propaganda orang-orang Syi’ah yang dimotori Abu Abdullah al-Syi’i atas perintah Ubaidillah al-Mahdi, pendiri dinasti Fathimiyah. Kuatnya pasukan yang dibentuk kelompok Syi’ah dari sekte Ismailiah ini kemudian mampu menggulingkan Dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M, yang pada saat itu diperintah oleh Ziadatullah II, dan sekaligus menandai berdirinya dinasti baru dan terkenal bernama Dinasti Fathimiah. Artinya, Dinasti Aghlabiyah juga berakhir di tangan Dinasti Fathimiyah.[13]



3.      Dinasti Thuluniyah (868 M – 905 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Awal berdirinya dinasti ini tidak bisa dilepaskan dari seorang tawanan perang Turki yang kemudian dijadikan sebagai pengawal istana al-Musta’in, namanya Bayakbek. Pada saat terjadi penggulingan kekuasaan yang dilakukan oleh al-Mu’tazz, Bayakbek memilih bergabung dengan al-Mu’tazz dan meninggalkan al-Musta’in. Setelah penggulingan berhasil, ternyata al-Mu’tazz memberikan jabatan penting bagi mereka yang telah berjasa dalam penggulingan tersebut. Bayakbek adalah salah satu orang yang berjasa, sehingga ia menerima jabatan penting tersebut yakni menjadi gubernur Mesir. Oleh Bayakbek jabatan itu tidak dipegangnya tetapi diberikan kepada anaknya Ibnu Thulun, yang kemudian ia mendirikan Dinasti Thuluniyah.
Pada tahun 263 M Ibnu Thulun secara resmi diangkat sebagai gubernur Mesir. Selanjutnya, Ibnu Thulun melepaskan diri dari kekhalifahan Bani Abbasiyah. Bahkan, ia mampu menaklukkan Damaskus, Homs, Hamat, Aleppo, dan Antiokia. Karena itu ia kemudian tidak hanya menjadikan Mesir sebagai suatu wilayah yang merdeka, akan tetapi juga berkuasa atas wilayah Syam. Ia lalu membangun armada laut tangguh yang berpangkalan di Akka (Acre) sebagai upaya pengontrolan dan pengawasan wilayah-wilayah kekuasaannya.
b.      Kemajuan yang Dicapai
Dinasti Thulun mencatat berbagai prestasi, antara lain sebagai berikut:[14]
a)      Mendirikan bangunan-bangunan megah, seperti rumah sakit Fustat, masjid Ibnu Thulun, dan istana khalifah yang kemudian dijadikan sebagai peninggalan sejarah Islam yang sangat bernilai.
b)      Memperbaiki nilometer (alat pengukur air) di pulau Raufah yang sangat membantu dalam meningkatkan hasil produksi pertanian rakyat Mesir.
c)      Berhasil membawa Mesir pada kemajuan, sehingga Mesir menjadi pusat kebudayaan Islam yang dikunjungi para ilmuwan dari seluruh pelosok dunia Islam.
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Dinasti Thulun adalah sebuah dinasti Islam yang masa pemerintahannya paling cepat berakhir.[15] Sepeninggal Khumarawaih, situasi memanas yaitu setelah Abu Asakir al-Jaisy menggantikan ayahnya yang disebabkan oleh peristiwa pembunuhannya terhadap pamannya yaitu Mudhar ibnu Ahmad ibnu Thulun. Hal ini menyebabkan gencarnya perlawanan antara pihaknya dengan para fuqaha dan qadhi yang pada akhirnya kepemimpinan Jaisy dibatalkan. Lalu diangkatlah Abu Musa Harun sebagai amir yang baru dalam usia 14 tahun.
Tampaknya dengan usia yang relatif masih sangat kecil ini menyebabkan Harun kurang cakap dalam memimpin pemerintahannya, sehingga dia tidak mampu menghalau suasana yang semakin kacau pada masanya pemerintahannya. Sementara itu di Syam sendiri, pemberontakan yang dilakukan oleh Qaramithah juga tidak berhasil dipadamkan. Segera setelah Harun kalah, kepemimpinannya diambil alih ke tangan khalifah Syaiban bin Thulun. Dinasti Thulun memerintah sampai 38 tahun dan berakhir ketika dikalahkan oleh pasukan Dinasti Abbasiyah dan setelah khalifah Syaiban terbunuh.  





4.      Dinasti Ikhsidiyah (935 M – 969 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Tidak berselang lama setelah berakhirnya Dinasti Thuluniyah, muncul lagi dinasti baru di Mesir dengan nama Dinasti Ikhsidiyah yang berpusat di Fustat. Dinasti ini lahir diawali dengan pengangkatan seorang gubernur yang memiliki kekuasaan dan hak otonom penuh yang kemudian dikelola bersama keluarga dan keturunannya.
Pendiri dinasti ini adalah seorang militer Turki yang telah lama mengabdi kepada khalifah Abbasiyah yang bernama Muhammad ibnu Tughji. Karena keberhasilannya meredam pemberontakan yang dilakukan oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir, maka ia dianugerahi gelar al-Ikhsyid. Berkat keberhasilannya tersebut, khalifah menjadi simpati kepadanya. Bahkan karena kecakapannya, ada salah seorang pangeran Romawi yang bernama Romanus, menyatakan rasa kagum dan hormat kepadanya.
b.      Kemajuan yang Dicapai
Setelah Dinasti Ikhsidiyah berdiri dan mengalami perkembangan, al-Ikhsyid meninggal dunia. Kemudian kepemimpinan beralih kepada anaknya yang bernama Unujur bin Ali. Kedua pengganti al-Ikhsyid ini masih anak-anak, sehingga pemerintahan dinasti ini diserahkan kepada Abu al-Misk Kafur. Di masa pemerintahan Kafur inilah Dinasti Ikhsidiyah mencapai kegemilangan. Salah satu kehebatan Kafur adalah ia dapat memadamkan pemberontakan Dinasti Fathimiyah di sepanjang pantai Afrika Utara. Bukan hanya itu saja, serangan dari Dinasti Hamdaniyah di Suriah utara juga dapat dipadamkan. Kegemilangan Dinasti Ikhsidiyah lebih tampak pada kekuatan militernya. Wilayah-wilayah yang pernah ditaklukkan oleh Dinasti Ikhsidiyah adalah Syam, Palestina, Makkah, dan Madinah.[16]
Kafur juga membangun istana yang terkenal dengan sebutan Bustan al-Kafur di Raudah. Dan pada saat kekuasaan dinasti ini pula muncul beberapa intelektual Muslim ternama antara lain Abu Ishak al-Marwazi, Hasan ibnu Rasyid al-Misri, Muhammad ibnu Walid al-Tamimi, dan al-Mutanabbi.
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Tanda-tanda kemunduran Dinasti Ikhsidiyah dimulai setelah Kafur meninggal dunia. Sepeninggal Kafur kekhalifahan digantikan oleh Ahmad, cucu Muhammad ibnu Tughji. Di zaman Ahmad, Ikhsidiyah mengalami fase kemunduran dan kehancuran. Pada masanya propaganda Syi’ah Fathimiyah dilakukan secara gencar oleh Jauhar al-Saqily Qa’id al-Muiz Lidnillah al-Fatimi yang berhasil mempengaruhi masyarakat Mesir, sehingga pada akhirnya dinasti ini resmi telah jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah.

5.      Dinasti Hamdaniyah (905 M – 1004 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Gerakan keluarga Hamdani ini sebenarnya sudah ada pada masa khalifah al-Mu’tadhid, yang waktu itu tampil dengan aksi menentang khalifah Abbasiyah. Gerakan ini gagal dan akibatnya beberapa anggota keluarga hamdani ditangkap. Namun akhirnya khalifah Abbasiyah membebaskan mereka, setelah al-Husain ibnu Hamdan menangkap tokoh khawarij Harun al-Syari. Ketika bani Abbasiyah diperintah khalifah al-Muqtadir, nasib keluarga Hamdani mengalami perubahan, keluarga ini banyak memperoleh penghargaan dari khalifah, diantaranya adalah Abu al-Haija’ Abdullah ibnu Hamdan dijadikan gubernur Mousul (Irak), sedangkan Sa’id diangkat menjadi gubernur Nahawand.
Dari Abu al-Haija’ yang berkuasa di Mousul ini lahir dua anaknya yang kemudian menjadi penguasa Dinasti Hamdaniyah. Kedua putranya tersebut adalah Muhammad al-Hasan ibnu Abdullah yang bergelar Nashir al-Daulat dan Abu al-Mahasin ibnu Abdullah yang bergelar Saif al-Daulat. Nashir al-Daulat diangkat sebagai pengganti ayahnya, di tangannya inilah keluarga Hamdaniyah memiliki kekuasaan otonom di Mousul. Sedangkan, Saif al-Daulat berkuasa di Aleppo (Suriah), dan ia dikenal sebagai pendiri Dinasti Hamdaniyah di wilayah Aleppo. Hal ini berarti, Dinasti Hamdaniyah memiliki perbedaan dengan dinasti kecil yang lain, kalau dinasti kecil lain hanya berpusat pada satu tempat, tetapi pemerintahan Dinasti Hamdaniyah berpusat pada dua tempat, yaitu cabang Mousul dan cabang Aleppo. Meskipun Aleppo merupakan bawahan Mousul, akan tetapi pada kenyataannya sering terlihat kedinastian Aleppo lebih mendominasi, lebih kuat, dan tidak bergantung kepada Mousul.
b.      Kemajuan yang Dicapai
Prestasi gemilang yang diukir oleh Dinasti Hamdaniyah lebih tampak pada wilayah politiknya. Dinasti ini mampu memainkan peran penting sebagai pagar betis untuk mempertahankan kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang ketika itu berada pada tahap kemunduran. Bahkan, Dinasti Hamdani ini sebagai suatu kekuatan, yang mampu menahan pasukan Romawi untuk merebut seluruh wilayah Suriah. Pasukan Hamdani cukup kuat dalam mempertahankan wilayah Islam.
Bidang lain yang juga patut dihargai dari Dinasti Hamdaniyah adalah perhatiannya yang cukup besar terhadap dunia intelektual. Hal ini terbukti di masa dinasti ini muncul sejumlah nama-nama intelektual Muslim, yakni al-Farabi, al-Isfahani, dan al-Firas. Meskipun dinasti ini bukanlah dinasti yang besar, tetapi pencapaiannya jelas nampak.
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Pada tahun 976 M, Saif al-Daulat meninggal dunia, kepemimpinan selanjutnya digantikan oleh putranya Sa’ad al-Daulat Syarif I yang kemudian secara berturut-turut dipegang oleh Sa’d Daulat Sa’d, Ali II, Syarif II. Berbeda dengan Saif al-Daulat, para penggantinya ini kurang memiliki kecakapan dalam memimpin, terutama dalam mengimbangi kekuatan-kekuatan asing yang besar waktu itu yaitu Bani Buwaihi, Romawi, dan Fathimiyah. Akhirnya Dinasti Hamdaniyah dapat dikuasai oleh Dinasti Fathimiyah pada tahun 1004 M, ini berarti bahwa kekuasaan dinasti Hamdaniyah sudah berakhir.


B.     Dinasti – Dinasti Di Timur Baghdad
1.      Dinasti Thahiriyah (820 M – 872 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Pendiri Dinasti Thahiriyah adalah Thahir ibnu al-Husain. Wilayah kekuasaannya di sekitar Khurasan, termasuk Transoxania, dengan ibukota di Merv.[17] Sejarah pendiriannya tidak bisa dilepaskan dari peristiwa perselisihan antara al-Amin dan al-Makmun, keduanya adalah putra Harun al-Rasyid. Dalam perselisihan tersebut, Thahir yang dikenal sebagai ahli perang, berada di pihak al-Makmun. Ketika peperangan melawan al-Amin ini pasukan yang dipimpin oleh Thahir mengalami kemenangan, sehingga al-Makmun dikukuhkan menjadi khalifah Abbasiyah.
Dengan kemenangan tersebut Thahir mendapat jabatan menjadi gubernur di kawasan timur Baghdad. Jabatan ini dipegangnya selama dua tahun. Pada tahun 207 H Thahir meninggal dengan tiba-tiba karena penyakit demam yang dideritanya. Ada pula yang menyebutkan bahwa ia meninggal karena keracunan. Sebelum meninggal, ia sudah mulai menghapus nama al-Makmun dalam khutbah-khutbah jumat, ini berarti bahwa kekuasaan Thahir ini lepas dari Abbasiyah, walaupun tidak melepaskan diri secara total.
Kepemimpinan Thahir kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Thalhah bin Thahir. Thalhah berupaya meningkatkan hubungan kerja sama dengan pemerintahan pusat. Ini artinya bahwa Dinasti Thahiriyah pada realitasnya masih memiliki hubungan baik dengan pemerintahan pusat Bani Abbasiyah. Pengganti Thalhah adalah Abdullah bin Thahir, ia adalah saudara Thalhah sendiri. Pengangkatan khalifah yang ketiga kalinya ini menunjukkan betapa kuatnya dominasi keluarga Thahir dalam pemerintahan, sehingga kekuasaannya diserahkan secara turun-temurun.
b.      Kemajuan yang Dicapai
Kemajuan Dinasti Thahiriyah terjadi pada masa kepemimpinan Abdullah ibnu Thahir, yaitu khalifah ketiga dinasti ini. Ia adalah penguasa yang memiliki pengaruh yang besar. Pengaruh besar itu tampak pada upaya-upaya yang dilakukannya, antara lain meningkatkan kerja sama dengan pemerintahan pusat Dinasti Abbasiyah, terutama dalam kaitannya dengan upaya meredam para pemberontak, juga melaksanakan perjanjian dengan baik, memberikan hak-hak Bani Abbas sebagai keluarga penguasa, memperbaiki keadaan perekonomian, memantapkan keamanan, dan meningkatkan perhatian pada bidang ilmu pengetahuan dan akhlak.[18] Abdullah ibnu Thahir juga berhasil menjadikan kota Nishapur menjadi pusat peradaban Islam yang patut diperhitungkan.
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Pasca pemerintahan Abdullah ibnu Thahir, kekuasaan Dinasti Thahiriyah mulai mengalami penurunan. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Muhammad bin Jabir, wilayah Khurasan mengalami kemunduran yang kian nampak jelas, dan bersamaan itu pula muncul sebuah kekuatan baru dari Dinasti Shaffar di wilayah Sijistan, dan selanjutnya wilayah Khurasan pun dapat dikuasai oleh Dinasti Shaffariyah. Dan dengan jatuhnya kekuasaan Thahiriyah yang ada di Wilayah Khurasan ini maka berakhir pula pemerintahan Dinasti Thahiriyah.

2.      Dinasti Shaffariyah (867 M – 1495 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Dinasti shaffariyah merupakan sebuah dinasti Islam yng paling lama berkuasa di dunia Islam. Pendiri dinasti ini adalah Ya’qub ibnu al-Lais al-Shaffar. Nama Shaffariyah sendiri diambil dari nama pekerjaan pendirinya, Ya’qub ibnu al-Lais, yaitu sebagai tukang barang-barang kuningan/tembaga. Sejak kecil ia tekuni pekerjaan ini di perusahaan ayahnya. Dan sejak ayahnya meninggal dunia dan perusahaan itu dikelola oleh dia dan adiknya, Amr ibnu al-Lais, perusahaan ini semakin merosot. Karena itulah, kemudian ia dan adiknya masuk ke dalam kelompok penyamun. Ketika terjadi kekacauan, gerombolan penyamun ini muncul, mereka membegal kafilah-kafilah dagang maupun iring-iringan pembesar pemerintahan. Hal ini semakin menambah kemelut dan kekacauan terhadap kehidupan rakyat dan kehidupan ekonomi secara umum.
Sekalipun Ya’qub adalah seorang penyamun, tetapi ia dermawan, ia gemar membantu orang-orang yang tertindas, dan merampok hanya pada orang-orang hartawan yang hidup dari hasil pemerasan juga. Sedangkan orang-orang yang dianggap baik tidak diganggunya. Lambat laun kelompoknya menjadi pasukan yang besar, teratur dan mempunyai disiplin tinggi, yang semakin hari semakin mengharumkan namanya. Ketika Ya’qub sudah mulai kuat, pada tahun 867 M, ia memulai gerakannya. Ia melakukan perluasan wilayah ke Sijistan dan Punjab dan pada tahun yang sama ia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa. Pada tahun itu pula ia dapat merebut benteng Herat bagian utara, perbatasan wilayah Khurasan. Ia meneruskan untuk menguasai wilayah Makran (Balukhistan) dan wilayah Fars. Benteng Kirman telah dikuasai sebelum penaklukan wilayah tersebut.


b.      Kemajuan yang Dicapai
Setelah Ya’qub memproklamirkan dirinya menjadi penguasa baru dan dilanjutkan dengan ekspansi ke wilayah-wilayah di sekitarnya, kemudian pada dua tahun berikutnya, ia mempersiapkan kekuatan baru, sambil menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di sana sini sebagai reaksi atas pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 255 H terjadilah puncak kemelut di ibukota Samarra. Demikian pula khalifah penggantinya pun, khalifah al-Muhtadi, dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga wibawa pemerintah tampak berkurang.
Menyusul kesuksesan sebelumnya, maka pada tahun berikutnya ia melanjutkan penguasaan atas kota Kabul dan kota bentang Balkh. Ia juga merebut Khurasan pada tahun 873 M. Meskipun kesuksesan banyak dicapai oleh Ya’qub tetapi hubungan dengan pemerintahan Abbasiyah masih baik. Hubungan baik dengan Abbasiyah itu semakin mengukuhkan pemberian khalifah atas beberapa kota penting antara lain Balkh, Thurkhanistan, Kirman, Sijistan, dan daerah lainnya.
Dalam perjalanan sejarah berikutnya tampaknya Ya’qub memang berpotensi menjadi pemimpin besar. Ia terus melebarkan kekuasaannya sampai di wilayah Khurasan. Hal ini menyebabkan, khalifah merasa terancam kedudukannya di Baghdad, sehingga khalifah memberi peringatan, akan tetapi Ya’qub tidak mengindahkan peringatan tersebut, bahkan menentangnya dengan mengandalkan kekuatan pasukannya. Melihat besarnya kekuatan pasukan Ya’qub, khalifah pun membiarkannya dan mengutus kurir untuk menyerahkan wilayah Khurasan, Thibristan, Jurjan, al-Ra dan Persia, sekaligus mengangkatnya sebagai amir.
Kegemilangan Ya’qub dalam perluasan wilayah ini menjadikannya berkeinginan untuk menguasai Baghdad. Tetapi upayanya ini tidak berhasil karena sekitar dua puluh kilometer dari ibukota, ia mengalami kekalahan pahit di tangan al-Muwaffaq, wali khalifah dan meninggal pada tahun 879 M, sebelum perundingan dengan al-Muwaffaq selesai. Segera saja wali mengakui saudaranya Amr ibnu al-Lais sebagai penggantinya, sebagai gubernur semua wilayah yang telah ditaklukkan.
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Dengan meninggalnya Ya’qub, Amr ibnu Lais diakui sebagai gubernur. Di tangan Amr, ia menerima kekuasaan atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya diakui khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di tangan Amr, ia pun tetap berusaha memperluas kekuasannya, ia menginginkan wilayah Transoxania, yang saat itu secara formal berada di bawah penguasaan Dinasti Thahiriyah, tetapi sesungguhnya yang berkuasa di sini adalah Bani Samaniyyah, dan ini lebih kuat dari pada Shaffariyah. Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh pasukan Ismail ibnu Ahmad dari Bani Samaniyyah, dan kemudian Amr sendiri ditangkap. Akhirnya semua hasil penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam kekuasaannya.
Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr ini, tetapi ketiga-tiganya kurang mendapatkan perhatian oleh para sejarawan. Ketiga penerus itu adalah Thahir ibnu Muhammad, al-His ibnu Ali, dan al-Mua’addil ibnu Ali. Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan dalam pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Shaffariyah di Sijistan.[19]



3.      Dinasti Samaniyyah (874 M – 1005 M)
a.      Sejarah Pembentukan
Dinasti Samaniyyah ini ditengarai sebagai keturunan seorang tuan tanah di wilayah Balkh yang bernama Saman Khuda yang masuk Islam. Orang-orang Samaniyyah ini menganggap dirinya masih keturunan kaisar-kaisar Samaniyyah. Dalam sejarah disebutkan bahwa telah banyak terjadi percampuran darah antara bangsa Persia dengan bangsa Arab. Banyak putra putri dari keturunan bangsawan Iran (Persia) menikah dengan bangsawan Bani Hasyim. Di zaman al-Makmun mereka diberi jabatan-jabatan penting, sehingga putra Asad ibnu Saman, cucu Saman Khuda, mendapatkan kedudukan yang baik dari Bani Abbas. Sebagian yang lain diangkat menjadi gubernur di wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh Dinasti Thahiriyah.
Nama Ahmad ibnu Asad cukup terkenal, karena ia pemimpin yang adil dan bijaksana. Setelah ia meninggal kepemimpinannya digantikan oleh Nashr. Nashr diangkat sebagai penglima perang oleh khalifah al-Mu’tamid pada tahun 875 M, ia mampu merebut wilayah yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Thahiriyah. Akhirnya, ia pun memindahkan ibukota wilayah dari Bukhara ke Samarkand. Nashr ibnu Ahmad diangkat menjadi gubernur oleh khalifah al-Mu’tamid untuk wilayah Transoxania.
Sejarah dinasti ini tidaklah selalu berjalan lancar. Perselisihan antar saudara pernah terjadi, yaitu antara Nashr ibnu Ahmad (penguasa Transoxania), dengan saudaranya Ismail ibnu Ahmad (penguasa Bukhara). Sepeninggal Nashr, kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Ismail ibnu Ahmad. Ismail mampu memperluas wilayahnya sampai ke wilayah Khurasan. Kemudian khalifah al-Mu’tadhi mengangkatnya sebagai wali di kawasan Transoxania, dengan demikian memungkinkan Ismail untuk menguasai Thibristan dan menyatukan Ak Ray. Maka terpeliharalah batas-batas kekuasaannya dari arah barat. Ini adalah penguasa terbesar sepanjang kepemimpinan Dinasti Samaniyyah.[20]
b.      Kemajuan yang Dicapai
Puncak kejayaan Dinasti Samaniyyah terjadi pada masa khalifahan Ismail. Kemajuan yang dicapai pada masanya antara lain: mampu menghancurkan Dinasti Shaffariyah di Transoxania, serta mampu memperluas wilayahnya hingga Tabaristan, Ray, Qazwin sehingga keamanan dalam negeri terjamin.[21] 
Dinasti ini memiliki saham yang cukup berarti bagi perkembangan Islam, baik dari aspek politik maupun aspek kebudayaan. Dalam aspek politik, misalnya mereka telah mampu memelihara tempat atau pusat yang strategis bagi daulat Islam di timur, mengembangkan kekuasaan Islam sampai ke wilayah Turki. Sedangkan dalam aspek kebudayaan, misalnya di istana Dinasti Samaniyyah di Bukhara ini menjadi tempat menetapnya para ulama serta merupakan kiblatnya para pujangga.
Pada masa Nuh ibnu Nashr al-Samani, ia memiliki perpustakaan yang tidak ada bandingannya. Di dalamnya terdapat kitab-kitab masyhur dari berbagai disiplin ilmu, yang tidak terdapat di tempat lainnya. Mereka juga membantu menghidupkan kembali bahasa Persia.
Ketika paham Sunni di Baghdad lebih menekankan taslim wa tadlid, seperti yang digariskan oleh khalifah al-Mutawakkil dan Imam Ahmad ibnu Hambal, maka perkembangan ilmiah dan kesusastraan serta filsafat memuncak di tangan daulat Samaniyyah. Samarkand menjadi pusat ilmu dan kebudayaan Islam pada waktu itu. Di zaman ini lahir para tokoh pemikir Islam, seperti al-Farabi, Ibnu Sina, al-Razi, al-Firdausi, dan lain-lain. Sementara itu di wilayah politik yang menarik dikaji adalah bahwa munculnya dinasti-dinasti di timur Baghdad ini di suatu sisi dianggap sebagai pergeseran dominasi Arab dalam dunia politik.
c.       Kemunduran dan Kehancuran
Sepeninggal Ismail, khalifah al-Mukhtafi mengangkat Abu Nashr ibnu Ismail, anak dari Ismail. Belum lama memerintah lalu ia terbunuh, dan digantikan oleh putranya Nashr II, yang baru berusia delapan tahun. Para tokoh Samani merasa khawatir, sementara itu masih ada paman bapaknya, yaitu Ishaq ibnu Ahmad, penguasa Samarkand yang memihak kepada penduduk Transoxania. Lalu tokoh Samani menyampaikan permohonan kepada khalifah al-Muktadir, agar didatangkan pemerintahan dari Khurasan, tetapi khalifah bersikeras menolaknya.
Hal tersebut merupakan awal tumbuhnya bibit perpecahan di tubuh Samaniyyah, ini memicu pemberontakan para pemimpin dan panglima militer, bahkan para tokoh militer ada yang bekerjasama dengan pihak musuh. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan keruntuhan Dinasti Samaniyyah. Faktor lain yang mungkin berpengaruh adalah sebagian pemimpinnya masih berusia sangat muda.
Pada pertengahan abad kesepuluh, terlihat Dinasti Samaniyyah menunjukkan tanda-tanda ketidakstabilan. Serangkaian revolusi istana memperlihatkan bahwa kelas militer dan kelas tuan tanah menentang kebijaksanaan sentralisasi administratif para amir, dan berupaya memegang kendali, pemberontakan-pemberontakan di Khurasan melepaskan provinsi itu dari otoritas langsung Bukhara. Maka tidaklah sulit bagi Qarakhaniyyah dan Ghazwaniyah untuk mengambil alih wilayah-wilayah Samaniyyah pada dasawarsa terkhir abad ini. Dan pada tahun 1005 M Ismail al-Muntasir terbunuh dalam pelariannya.[22]


[3] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan…, 437.
[4] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 87.
[5] Ibid…,  438.
[6] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 275.
[7] Ibid…,
[8] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban Islam (Yogyakarta: Teras, 2011), 158.
[9] W. Montgomery Watt. Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, pent. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1990), 109.
[10] Ibid…, 160.
[11] Ibid…, 161.
[12] Ibid…, 162.
[13] Badri Yatim, Sejarah Kebudayaan…, 434.
[14] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban,,,, 276.
[15]Ibid,,,, 276.
[16] Imam Fuadi, Sejarah.., 167.
[17] Ibid…, 172.
[18] Ibid…, 173-174.
[19] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban,,,, 276.
[20] Imam Fuadi, Sejarah.., 180-181.
[21] Istianah Abu Bakar, Sejarah Peradaban…, 105.
[22] Ibid…, 183-184.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar